Welcome Meet the Great Education and Art - Let Us Doing Good and Truth Degrees For Lifting People * Dipersembahkan oleh STRINGTONE project *

6/19/2012

Membangun Kecerdasan Moral


Michele Borba, Ed.D dalam bukunya yang berjudul "Membangun Kecerdasan Moral" mengatakan bahwa kecerdasan moral terbangun dari tujuh kebajikan utama yang akan membantu anak menghadapi tantangan dan tekanan etika yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupannya di kemudian hari. Kebajikan-kebajikan utara itu yang akan melindunginya agar tetap berada di jalan yang benar dan membantunya agar selalu bermoral dalam bertindak. Dan semua itu dapat diajarkan, dicontohkan, disadarkan, serta didorong sehingga dapat dicapai sang anak. Adapun tujuh kebajiakan utama itu adalah sebagai berikut:
1. Empati, merupakan inti emosi moral yang membantu anak memahami perasaan orang lain. Kebajikan ini membuatnya menjadi peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain, mendorongnya untuk menolong orang yang kesusahan atau kesakitan, serta menuntutnya untuk memperlakukan orang lain dengan kasih sayang. Emosi moral yang kuat mendorong anak bertindak benar, karena ia melihat kesusahan orang lain, sehingga mencegahnya melakukan tindakan yang dapat melukai orang lain.

6/15/2012

Evaluasi Pengembangan KTSP Suatu Kajian Konseptual


Evaluasi Pengembangan KTSP Suatu Kajian Konseptual


oleh Prof. Dr. Said Hamid Hasan, MA.

Evaluasi kurikulum KTSP diarahkan pada beberapa sasaran, diantaranya tingkat pemahaman ide dan prinsip pengembangan KTSP; keberhasilan pengembangan dokumen KTSP dan keberhasilan KTSP. Fokus evaluasi diarahkan pada ide,pengembangan dokumen, pelaksanaan KTSP dan hasil belajar.Untuk menentukan tingkat keberhasilan pengembangan KTSP secara komprehensif digunakan dua dimensi , yaitu dimensi nilai dan dimensi arti. Evaluasi dimensi nilai berkaitan dengan keunggulan intrinsik KTSP tanpa mempersoalkan lingkungan mana KTSP dilaksanakan, sedangkan dimensi arti berkaitan dengan nilai pengaruh KTSP terhadap lingkungan.

A. Pendahuluan

6/14/2012

Jawaban UAS Penelitian Kualitatif


METODE PENELITIAN KUALITATIF

A.     Pendahuluan
Setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan dengan jelas pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan, hal ini dimaksudkan agar penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan kokoh dilihat dari sudut metodologi penelitian, disamping pemahaman hasil penelitian  yang akan lebih  proporsional apabila pembaca mengetahui pendekatan yang diterapkan.
Obyek dan masalah penelitian memang mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan mengenai pendekatan, desain ataupun metode penelitian yang akan diterapkan. Tidak semua obyek dan masalah penelitian bisa didekati dengan pendekatan tunggal, sehingga diperlukan pemahaman pendekatan lain yang berbeda agar begitu obyek dan masalah yang akan diteliti tidak pas atau kurang sempurna dengan satu pendekatan maka pendekatan lain dapat digunakan, atau bahkan mungkin menggabungkannya.
B.         Paradigma Penelitian
Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut                paradigma penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.  Dari segi peristilahan para ahli nampak menggunakan istilah atau penamaan yang berbeda-beda meskipun mengacu pada hal yang sama, untuk itu guna menghindari kekaburan dalam memahami kedua pendekatan ini, berikut akan dikemukakan penamaan  yang  dipakai  para ahli dalam penyebutan kedua istilah tersebut seperti terlihat dalam tabel  1 berikut  ini :
Tabel 1.

6/13/2012

Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat


Pkn7 Bab IV Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat

BAB IV
KEBEBASAN MENGELUARKAN PENDAPAT




STANDAR KOMPETENSI :

Kemampuan membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan
informasi tentang kemerdekaan mengeluarkan pendapat.


KOMPETENSI DASAR :

4.1 . Kemampuan menganalisis kemerdekaan mengeluarkan pendapat
4.2 . Kemampuan menampilkan sikap positif terhadap kemerdekaan mengeluarkan pendapat


INDIKATOR :

1. Menjelaskan hakekat kemerdekaan mengeluarkan pendapat
2. Mengkaji akibat pembatasan mengeluarkan pendapat
3. Mendeskripsikan konsekwensi mengeluarkan pendapat tanpa batas atau tidak bertanggung jawab
4. Menunjukan sikap positif terhadap penggunaan hak mengeluarkan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab
5. Menghargai cara mengeluarkan pendapat yang dilakukan dengan benar dan bertanggung jawab

MATERI INTI

1. Hakikat kemerdekaan mengeluarkan pendapat
2. Akibat pembatasan mengeluarkan pendapat
3. Sikap positif terhadap penggunaan hak mengeluarkan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab
4. Menghargai cara mengeluarkan pendapat yang dilakukan dengan benar dan bertanggung jawab




PETA KONSEP
BAB IV KEMERDEKAAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT

2. Membiasakan Diri Mengemukakan Pendapat Secara Benar dan Bertanggung Jawab
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
A. Hakekat Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
1. Pengertian

B. Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Secara Bebas dan Bertanggung Jawab
C. Mendemostrasikan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Secara Bebas dan Bertanggung Jawab dalam Keseharian
2. Acuan Hukum Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
1. Cara Menyampaikan Pendapat yang Dilakukan Secara Benar dan Bertanggung Jawab




PENJABARAN MATERI POKOK

1. Hakekat kemerdekaan mengeluarkan pendapat

a. Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan dan tulisan, serta sikap-sikap lain secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada hakekatnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b. Kemerdekaan mengeluarkan pendapat sangat penting bagi kehidupan demokrasi karena akan membawa dampak positif antara lain :
· Kepekaan masyarakat menjadi meningkat dalam menyikapi berbagai permasalahan sosial yang timbul dalam kehidupan sehari-hari
· Membiasakan masyarakat untuk berfikir kritis dan reponsip
· Merasa ikut memiliki dan ikut bertanggung jawab atas kemajuan bangsa dan negara
· Meningkatkan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari

6/10/2012

Teknik Tes dan Non Tes dalam Evaluasi

A. Teknik Tes
Ada dua macam teknik yang dapat digunakan dalam melaksanakan evaluasi, yaitu teknik tes dan teknik non tes. Teknik tes meliputi tes lisan, tes tertulis dan tes perbuatan. Tes lisan dilakukan dalam bentuk pertanyaan lisan di kelas yang dilakukan pada saat pembelajaran di kelas berlangsung atau di akhir pembelajaran. Tes tertulis adalah tes yang dilakukan tertulis, baik pertanyaan maupun jawabannya. Sedangkan tes perbuatan atau tes unjuk kerja adalah tes yang dilaksanakan dengan jawaban menggunakan perbuatan atau tindakan.

Evaluasi dengan menggunakan teknik tes bertujuan untuk mengetahui:
a. Tingkat kemampuan awal siswa
b. Hasil belajar siswa
c. Perkembangan prestasi siswa
d. Keberhasilan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran
Tes lisan dilakukan melalui pertanyaan lisan untuk mengetahui daya serap siswa. Tujuan tes lisan ini terutama untuk menilai:
a. Kemampuan memecahkan masalah
b. Proses berpikir terutama melihat hubungan sebab akibat
c. Kemampuan menggunakan bahasa lisan
d. Kemampuan mempertanggungjawabkan pendapat atau konsep yang dikemukakan.
Tes tertulis dapat berbentuk uraian (essay) atau soal bentuk obyektif (objective tes). Tes uraian merupakan alat penilaian hasil belajar yang paling tua. Secara umum tes uraian ini adalah pertanyaan yang menuntut siswa menjawab dalam bentuk menguraikan, menjelaskan, mendiskusikan, membandingkan, memberikan alasan, dan bentuk lain yang sejenis sesuai dengan tuntutan pertanyaan dengan menggunakan kata-kata dan bahasa sendiri.

Teori Nativisme, Empirisme dan Konvergensi

Ditinjau dari sifat dan coraknya, ilmu pendidikan Islam dapat dibagi menjadi empat bagian. Pertama, ilmu pendidikan Islam yang bercorak normatif, yaitu kajian ilmu pendidikan yang berbasis pada ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadis. Kedua, ilmu pendidikan yang bercorak filosofis, yaitu kajian pendidikan yang berbasis pada penalaran mendalam yang dilakukan para sarjana muslim. Ketiga, ilmu pendidikan Islam yang bercorak historis empiris, yaitu kajian pendidikan Islam yang bertumpu pada informasi yang tercatat dalam sejarah dan dapat dilacak akar-akarnya, dan keempat ilmu pendidikan Islam yang bercorak aplikatif, yakni kajian pendidikan Islam yang bertumpu pada sistem dan cara penerapannya. Keempat sifat dan corak ilmu pendidikan Islam tersebut sangat penting untuk dikaji secara bersamaan, namun yang harus dijadikan fokus utama adalah sifat dan corak normatifnya yang berlandaskan al-Qur’an dan hadis.

Sebagai landasan pendidikan Islam, maka al-Qur’an memiliki kedudukan sebagai qat’ī al-dalālah. Sedangkan hadis, ada yang qat’ī al-dalālah dan ada yang zannī al-dalālah. Karena demikian halnya, maka yang harus dijadikan landasan pertama dan utama dalam pendidikan Islam adalah al-Qur’an, di mana di dalamnya banyak ditemukan ayat-ayat yang berkenaan dengan teori belajar-mengajar, dan teori belajar-mengajar itu sendiri merupakan esensi dari pendidikan.
Di samping teori belajar mengajar, ada pula teori nativisme, empirisme, dan konvergensi. Teori-teori ini erat kaitannya dengan teori belajar mengajar yang bersumber dari aliran-aliran klasik dan merupakan benang merah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pendidikan masa lalu, kini, dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran itu mewakili berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang paling pesimis sampai dengan yang paling optimis. Aliran yang paling pesimis memandang bahwa pendidikan kurang bermanfaat, bahkan mungkin merusak bakat yang telah dimiliki anak. Sedang sebaliknya, aliran yang sangat optimis memandang anak seakan-akan tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati. Banyak pemikiran yang berada di antara kedua kutub tersebut, yang dipandang sebagai variasi gagasan dan pemikiran dalam pendidikan.
Ketiga aliran pendidikan yang disebutkan di atas, juga memiliki keterkaitan erat dengan petunjuk al-Qur’an tentang masalah fitrah manusia. Karena itulah, maka dapat dirumuskan bahwa sangat penting untuk dibahas berbagai petunjuk al-Qur’an tentang teori belajar mengajar dan kaitannya dengan teori nativisme, teori empirisme, dan teori konvergensi.
Terdapat perbedaan pandangan tentang teori belajar dalam berbagai aliran-aliran pendidikan. Perbedaan-perbedaan itu, berpangkal pada berbedanya pandangan tentang perkembangan manusia yang banyak ditemukan pembahasannya dalam psikologi pendidikan.
Teori-teori belajar dan mengajar yang muara akhirnya adalah perkembangan intelektual, pada dasarnya dapat dilihat dari berbagai teori yang terdapat dalam tiga aliran pendidikan, yakni aliran nativisme, aliran empirisme, dan aliran konvergensi.
1. Nativisme
Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau ayahnya pintar, maka kemungkinan besar anaknya juga pintar.
Para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya.

Pengertian Humanisme


Dilihat dari segi kebahasaan, humanisme berasal dari kata Latin humanus dan mempunyai akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti sifat manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia (A.Mangunhardjana dalam Haryanto Al-Fandi, 2011:71). Sebagai paham, pendukungnya disebut humanis. Paham humanis adalah suatu aliran untuk mempelajari dan menyelidiki buku-buku pengetahuan yang ditinggalkan oleh orang-orang Yunani dan Romawi. Buku-buku tersebut dicetak lagi dan diberi penjelasan. Selain humanus, terdapat istilah umanista, yakni jargon zaman Renaissance yang sejajar dengan artista (seniman) atau iurista (ahli hukum). Umanista adalah guru atau murid yang mempelajari kebudayaan, seperti gramatika, retorika, sejarah, seni puisi, atau filsafat moral.

Secara terminologi, humanisme berarti martabat dan nilai dari setiap manusia, dan semua upaya untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan alamiahnya (fisik nonfisik) secara penuh. (Hasan Hanafi dalam Haryanto Al-Fandi, 2011:71).
Abdurrahman Mas’ud (2004:135) mengemukakan bahwa humanisme dimaknai sebagai kekuatan atau potensi individu untuk mengukur dan mencapai ranah ketuhanan dan menyelesaikan permasalahan-permasalah sosial. Menurut pandangan ini, individu selalu dalam proses menyempurnakan diri.
Humanisme sebagai suatu aliran dalam filsafat, memandang manusia itu bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri, dan dengan kekuatan sendiri mampu mengembangkan diri. Pandangan ini disebut pandangan humanistis atau humanisme.
Pemakaian istilah humanisme mula-mula terbatas pada pendirian yang terdapat di kalangan ahli pikir di zaman Renaissance yang mencurahkan perhatian kepada pengajaran kesusateraan Yunani dan Romawi Kuno dan kepada perikemanusiaan.
Posisi humanisme sama dengan reformasi. Keduanya sama-sama mengunggulkan pencapaian individu. Perbedaannya adalah bahwa humanisme, kebenaran yang mereka pikirkan tidak terikat pada kebenaran Tuhan. Manusia adalah pusat, bukan Tuhan. Pemikiran tersebut dipengaruhi oleh ilmu alam, kelak menjadi aliran rasionalisme. Senaliknya aliran reformasi tidak memuja manusia dan keindahan, tetapi memuja Tuhan. Kebahagiaan bukan di dunia, melainkan di surga.

Daftar Pustaka
Abdurrahman Mas’ud. 2004. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gema Media.
Haryanto Al-Fandi. 2011. Desain Pembelajaran yang Demokratis & Humanis. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern dari Machiacelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Indratno, A. Feri T. (ed). 2009. Negara Minus Nurani, Esai-esai Kritis Kebijakan Publik. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

6/09/2012

Pengertian Seni Rupa Tradisional, Modern dan Kontemporer


Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan mengolah konsep garis, bidang, bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika.


1. SENI RUPA TRADISIONAL

Pengertian

Seni tradisional adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu kaum/puak/suku/bangsa tertentu. Seni tradisional yang ada di suatu daerah berbeda dengan yang ada di daerah lain, meski pun tidak menutup kemungkinan adanya seni tradisional yang mirip antara dua daerah yang berdekatan.

Ciri-ciri

* Penciptaannya selalu berdasarkan pada filosofi sebuah aktivitas dalam suatu budaya, bisa berupa aktivitas religius maupun seremonial/istanasentris.
* Terikat dengan pakem-pakem tertentu.

Contoh

Wayang kulit, wayang golek, wayang beber, ornamen pada rumah-rumah tradisional di tiap daerah, batik, songket, dan lain-lain.

1. SENI RUPA MODERN

Pengertian

Seni rupa modern adalah seni rupa yang tidak terbatas pada kebudayaan suatu adat atau daerah, namun tetap berdasarkan sebuah filosofi dan aliran-aliran seni rupa.

Ciri-ciri

* Konsep penciptaannya tetap berbasis pada sebuah filosofi , tetapi jangkauan penjabaran visualisasinya tidak terbatas.
* Tidak terikat pada pakem-pakem tertentu.

Contoh

Lukisan-lukisan karya Raden Saleh Syarif Bustaman, Basuki Abdullah, Affandi, S.Soedjojono dan pelukis era modern lainnya.

Seniman

Raden Saleh Syarif Bustaman, Abdulah Sr, Pirngadi, Basuki Abdullah, Wakidi, Wahid Somantri, Agus Jaya Suminta, S. Soedjojono, Ramli, Abdul Salam, Otto Jaya S, Tutur, dan Emira Sunarsa.

1. SENI RUPA KONTEMPORER

Pengertian

Seni Kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Jadi seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang. Lukisan kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat pada Rennaissance. Begitu pula dengan tarian, lebih kreatif dan modern.

Ciri-ciri

* Tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman.
* Tidak adanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, hingga aksi politik.

Contoh

Karya-karya happening art, karya-karya Christo dan berbagai karya enviromental art.

Seniman

Gregorius Sidharta, Christo, dan Saptoadi Nugroho.

Referensi:

http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_rupa

http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_kontemporer

http://anakciremai.blogspot.com/pendidikan-seni-tentang-perkembangan-seni-rupa-indonesia

http://id.answers.yahoo.com

6/07/2012

PEDOMAN PEMBUATAN RANCANGAN PENELITIAN


Secara akademik umumnya dibedakan antara proposal dan rancangan penelitian (research design). Jika dalam proposal hanya memuat pokok-pokok pikiran, maka dalam research design sudah memuat seluruh elemen-elemen pokok yang harus ada dalam rancangan penelitian yang diuraikan secara detail. Dengan demikian research design merupakan semacam cetak biru (blue print), yang jika dibaca oleh siapapun, sudah dapat dimengerti apa yang akan diteliti dan bagaimana cara penelitian itu dilakukan.
Sementara beberapa elemen yang harus ada dalam research design antara lain:
1. Judul
2. Latarbelakang Masalah.
3. Rumusan Masalah
4. Tujuan Penelitian
5. Kegunaan Peenelitian
6. Hipotesa
7. Tinjauan Pustaka/ Kerangka Teori
8. Pengumpulan Data yang meliputi: Masalah Sampel, Instrument, Pemilihan lokasi dan sebagainya
9. Analisa Data

Di bawah ini akan diuraikan secara singkat dari masing-masing elemen di atas, mudah-mudahan ada manfaatnya.

1. Judul Penelitian
Pada prinsipnya judul penelitian harus jelas, ringkas dan mencerminkan masalah apa yang akan diteliti. Dalam membuat judul penelitian hendaknya jangan terlalu luas cakupannya atau sebaliknya terlalu sempit. Jika penelitian yang dilakukan bentuknya survai (kuantitatif) maka dalam judul harus jelas penempatan posisi independent variable dan dependent variablenya. Demikian juga dalam penelitian kualitatif. Judul penelitian jangan bersifat simbolik, terlalu abstrak atau mungkin puitis. Misalnya judul “Golok dan Tasbih”, meskipun maksudnya adalah relasi sosial antara Kyai dan Jawara, tetapi judul semacam ini, disamping terlalu simplistik juga terlalu luas. Lebih dari itu judul tersebut, juga, tidak jelas mana yang menjadi independent variable dan mana dependent variable-nya.
Judul yang baik, jika penelitian itu kuantitatif, selain memperlihatkan korelasi antara variable secara jelas, juga, mencerminkan arah penelitian yang akan dilakukan. Misalnya,
“Pengaruh pendidikan orangtua dan tingkat pendapatan keluarga terhadap kenakalan remaja: Studi kasus pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara di Kabupaten Sukamaju”.
Di sini yang menjadi independent variable adalah pendidikan dan tingkat pendapatan orang tua, sedangkan dependent variable-nya adalah kenakalan remaja. Meskipun judul semacam ini, juga kurang terlalu problematik, tetapi, paling tidak telah memperlihatkan kejelasan posisi antar variable, disamping cukup mencerminkan masalah yang akan diteliti.
Demikian juga judul penelitian jangan terlalu sempit. Misalnya,
“Pengaruh Profesionalitas Guru terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas Satu Madrasah Aliyah Negeri di Sukamaju”.
Judul semacam ini disamping terlalu sempit cakupannya, juga tidak problematik sebagai bahan penelitian. Tanpa penelitian pun sudah diketahui bahwa profesionalitas guru akan memiliki pengaruh atas hasil belajar siswa. Jadi, dalam pembuatan judul, selain harus diperhatikan scopenya, yang lebih penting adalah apakah judul telah mencerminkan masalah yang membutuhkan penelitian.


2. Latar Belakang Masalah.
Meskipun tidak ada rumusan baku bagaimana latarbelakang penelitian harus dibuat, namun isi pokok dari latarbelakang adalah membangun argumen: mengapa penelitian itu penting untuk dilakukan. Tentu saja arti “penting” di sini bukan menurut pengertian peneliti yang subyektif, tetapi harus dilihat dari kepentingan yang lebih luas dan obyektif. Misalnya, dari segi akademik mungkin akan melahirkan teori baru dan/atau membatalkan teori lama. Sedangkan dari kepentingan yang lebih pragmatik akan dapat memecahkan masalah (problem solving) yang sedang dihadapi masyarakat, misalnya. Dengan demikian masalah penelitian bukan hanya bermula dari sensitifitas peneliti terhadap fenomena sosial yang ada, tetapi juga, adanya kesenjangan fakta sosial yang ingin diketahui atau dipecahkan. Yang jelas masalah penelitian bukan semata-mata didasarkan interest peneliti yang subyektif.
Dalam membangun argumen mengapa penelitian itu perlu dilakukan bisa saja terinspirasi oleh hasil penelitian orang lain, data-data statistik, hasil bacaan jurnal penelitian, studi pustaka, pengamatan yang menceritakan terjadinya kesenjangan antara yang “seharusnya” (das sollen) dengan fakta-fakta sosial “yang ada” (das sein), misalnya. Yang terpenting, sekali lagi, latarbelakang hendaknya berisikan argumentasi mengapa penelitian itu perlu dilakukan. Yang harus dihindari dalam menyusun latarbelakang adalah membangun alasan-alasan yang tidak konsisten atau tidak relevan. Misalnya, kita mau meneliti tentang kerugian orang merokok baik ditinjau dari segi kesehatan (tingginya angka penyakit kanker paru-paru) maupun kerugian ekonomi (biaya yang harus dikeluarkan setiap harinya). Namun yang dikemukakan dalam membangun alasan itu, justru tentang durasi iklan rokok di TV atau data-data statistik tentang kontribusi pembayaran pajak pabrik rokok terhadap PAD. Meskipun argumen itu kelihatannya berkaitan dengan masalah yang akan kita teliti, tetapi jelas tidak relevan dengan masalah yang akan kita teliti. Karena argumen yang kita bangun justru lebih berkaitan dengan keuntungan merokok. Misalnya laba station TV akibat iklan dan pembayaran pajak yang diterima negara dan bukan tentang kerugiannya seperti jumlah kematian perokok akibat kanker paru-paru tiap tahunnya atau jumlah uang yang harus dikeluarkan, jika seseorang menghisap dua bungkus Ji Sam soe, misalnya. Jadi, di sini selain dibutuhkan cara meyakinkan tentang arti pentingnya mengapa penelitian itu menarik untuk dilakukan, juga, perlu adanya konsistensi terhadap fokus yang akan diteliti untuk menghindari uraian yang melebar kemana-mana.
Hal lain yang seringkali ditemui dalam latar belakang adalah memuat hal-hal yang tidak relevan dan bersifat normatif. Misalnya, mau meneliti masalah konflik etnis di Kalimantan Barat, yang dimuat dalam latarbelakang UUD 1945 dengan pasal-pasalnya, atau ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan persoalan yang berkaitan dengan masalah konflik sosial dan kebutuhan untuk memecahkannya justru tidak digambarkan.
Masalah lain yang secara teknis biasanya disampaikan dalam latar belakang adalah apakah penelitian yang akan dilakukan dimungkinkan untuk dilaksanakan: baik dari segi dana, waktu, tenaga dan sebagainya. Bisa saja problem penelitian yang dikemukakan sangat menarik tetapi dari segi waktu dan biaya tidak mungkin dilaksanakan.
Untuk memberi gambaran yang agak konkrit tentang contoh proposal yang baik: di bawah ini saya kutip sebuah Research Design (RD) yang dibuat oleh Tim Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan-Universitas Gadjah Mada (1997) yang berjudul: “Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu” yang dilakukan di delapan tempat (Kalimantan Barat, Timor Timor (sebelum merdeka), Tasikmalaya, Banjarmasin, Sampang, situbondo dan Pelalongan).1
Paling tidak ada tiga point yang ditekankan dalam latar belakang RD itu: Pertama, mengungkapkan data berbagai kasus kerusuhan di Indonesia mulai Januari 1995 s/d Juni 1997 yang mencapai 20 kekerasan kolektif di berbagai daerah: Kedua, mengemukakan penjelasan (komentar) yang muncul dalam masyarakat seperti: Pertama, bahwa kerusuhan itu bersfat SARA; kedua, akar permasalahan kerusuhan itu akibat kesenjangan sosial-ekonomi dan kesenjangan distrubusi pembangunan Orba: Ketiga, akibat perubahan sosial yang cepat yang tidak diikuti pengembangan proses dan mekanisme politik dan ekonomi yang adil dan keempat, adanya dugaan bahwa kerusuhaan itu sekedar ekses dari pertikaian politik antar-elite Jakarta yang menemukan salurannya dalam politik lokal. Ketiga, membangun anggapan dasar bahwa apapun eksplanasi yang diajukan, argumen itu harus memungkinkan pemilahan antara kondisi (condition) dari pemicu (precipitation).
Menurut tim, analisis yang teliti tentang fenomena yang rumit itu menuntut dilakukannya faktor-faktor penyebab yang berfungsi mempersiapkan kondisi sosial, kultural, psikologi, ekonomi dan politik bagi munculnya ketidakpuasan, kekecewaan, frustasi, dan membedakannya dari faktor-faktor pemicu berujud kejadian yang sebenarnya sekedar meletupkan ketidakpuasan itu menjadi kerusuhan masal.
Jadi argumentasi yang dibangun, diluar menyajikan data statistik tentang berbagai jenis kerusahan masal sepanjang tahun 1995-1997 dan mengungkapkan dugaan orang atas sebab-musabab atas terjadinya kerusuhaan itu (yang tentu saja masih membutuhkan pembuktian dalam penelitian), juga, yang terpenting, mereka menawarkan pendekatan yang lebih rinci dan holistik. Mulai dari perlunya memisahkan antara kondisi (condition) dari pemicu (precipitation), sampai pada pendekatan multi-perspektif (psikologi, cultural, sosial, politik dan ekonomi).
Dengan kata lain dari seluruh argumen yang disajikan (data statistik tentang kerusuhan, anggapan orang lain tetang sebab-musabab kerusuhan massal itu dan tawaran pendekatan yang akan digunakan): intinya hanya ingin menyampaikan pesan bahwa penelitian itu penting untuk dilakukan.


3. Perumusan Masalah
Rumusan masalah pada dasarnya sangat berkaitan dengan tujuan dan sifat penelitian yang akan dilakukan. Artinya perumusan masalah sangat tergantung dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai dan jenis penelitian yang akan dilakukan. Sementara bentuk perumusan masalah dapat berupa pertanyaan atau berbentuk peryataan. Jika tujuan penelitian itu bersifat deskriptif (to describe), misalnya, maka bentuk pertanyaannya biasanya dirumuskan dengan pertanyaan “apakah” (what), tetapi jika jenis penelitiannya bersifat eksplanasi (to explain), maka perumusan masalahnya biasanya didahului oleh pertanyaan “mengapa” (why) atau sejauhmana (how). Tentu saja kententuan ini bukan rumus matematis. Apa yang dikemukakan dalam rumusan masalah sebenarnya berupa pertanyaan-pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya dalam penelitian yang akan dilakukan. Sementara hal-hal yang dapat dipilih sebagai masalah antara lain: kontribusi terhadap khasanah ilmu pengetahuan; menindaklanjuti temuan-temuan sebelumnya; dan mencari jawaban dari (sesuatu) masalah dan sebagainya. Dan yang lebih penting pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dalam perumusan masalah minimal harus menyatakan hubungan antar dua gejala, apa yang akan diteliti harus dapat ditiliti secara empiris dan dikemukakan secara eksplisit.
Sebenarnya ada beberapa prinsip perumusan masalah yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif seperti dirumuskan Moleong (1998)3:
Pertama, fungsi perumusan masalah pada dasarnya sekedar untuk arahan, bimbingan, atau acuan untuk menemukan masalah yang sebenarnya. Sedangkan masalah yang sebenarnya baru mungkin ditemukan ketika peneliti sudah mulai melakukan pengumpulan data.
Kedua, jika penelitian yang dilakukan bukan memverifikasi teori (kuantitatif), melainkan upaya untuk menemukan teori subtanstif (kualitatif), maka masalah yang dirumuskan akan berfungsi sebagai patokan untuk analisa data atau menjadi hipotesa kerja.
Ketiga, rumusan masalah mungkin akan terdiri dari dua faktor atau lebih. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pada waktu merumuskan masalah: (1) adanya dua faktor atau lebih: (2) faktor-faktor itu dihubungkan dalam suatu hubungan yang logis atau bermakna (3) hasil menghubungkan itu mungkin berupa pertanyaan yang membutuhkan jawaban atau membutuhkan pemecahan masalah. Inilah yang biasanya disebut sebagai tujuan penelitian.
Keempat, dalam upaya untuk membatasi studi dalam perumusan masalah harus konsisten dengan paradigma yang digunakan.
Kelima, rumusan masalah yang dibangun harus jelas dan tegas.
Keenam, rumusan masalah: (1) dapat berbentuk deskriptif atau tanpa pertanyaan penelitian; (2) dapat secara langsung menghubungkan faktor-faktor hubungan logis dan bermakna: (3) secara gabungan antara bentuk diskriptif (pernyataan) dan pertanyaan.
Ketujuh, unsur lain yang biasanya berkaitan erat dengan perumusan masalah adalah “latarbelakang masalah”, “tujuan penelitian” dan “metode penelitian”.
Meskipun tidak ada acuan baku apakah latarbelakang masalah harus dipisahkan atau digabung dengan rumusan masalah: atau rumusan masalah harus dipisah atau digabung dengan tujuan penelitian dan seterusnya, tetapi yang paling lazim, antara latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan metode penelitian adalah dipisahkan. Kedelapan, untuk mempertajam perumusan masalah diperlukan hasil kajian pustaka yang relevan. Kesembilan, dalam merumuskan masalah sebaiknya mempertimbangkan faktor bahasa dalam pengertian siapa yang dibidik sebagai pembacanya.
Kembali pada contoh penelitian UGM. Setelah membangun argumentasi tentang perlunya pendekatan yang holistik, diharapkan memperoleh pemahaman yang cukup menyeluruh tentang modus resolusi konflik yang dapat menjangkau penyebab utama persoalan tersebut. Dari sini ada tiga masalah penelitian yang dirumuskan:
Pertama, bagaimana karakteristik dan ragam dari tindak kekekerasan yang terjadi dalam masyarakat? Apa kaitannya dengan tindak kekerasan yang mewarnai kerusuhan massal itu ?
Kedua, mengapa tindak kekerasan dan kerusuhan massal itu terjadi ? Kondisi-kondisi apa yang menyebabkannya? Apakah hal itu disebabkan adanya kekecewaan, ketidakpuasan, frustasi, sinisme dan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga publik yang meluas dalam masyarakat? Apa hubungan antara meluasnya kekecewaan dalam masyarakat dengan kondisi-kondisi tersebut diatas?
Ketiga, mengapa dan bagaimana kondisi-kondisi itu muncul? Apa kaitannya dengan strategi pembangunan yang dijalankan oleh Orde Baru?
Dari perumusan masalah yang dibuat nampak bahwa penelitian ini bukan sekedar dimaksudkan untuk mengambarkan (to describe) kasus kerusuhan yang diteliti, tetapi juga, ingin menjelaskan (to explain) sebab-musabab kerusuhan massal itu. Sehingga jenis pertanyaan “apa” (what), mengapa (why) dan sejauhmana (how) sejauhmana, telah menjadi pertanyaan-pertanyaan (magic) yang digunakan dalam merumuskan masalah.


4. Tujuan Penelitian
Seperti dikemukakan diatas bahwa antara rumusan masalah dan tujuan penelitian idealnya merupakan satu kesatuan. Seperti diketahui ada beberapa tujuan penelitian yang biasanya digunakan dalam ilmu social: to explore, jika tujuan penelitiannya hanya untuk penjelajahan: to describe, jika tujuan penelitiannya hanya untuk menggambarkan realitas sosial: To explain, jika tujuan penelitiannya untuk menjelaskan (hubungan sebab-akibat) atau membuktikan suatu teori tertentu: to understand: jika tujuan penelitiannya hanya untuk memahami realitas yang akan diteliti: to predict, jika tujuan penelitiannya untuk meramalkan dst. Yang paling penting dalam tujuan penelitian adalah mengemukakan secara jelas apa yang ingin dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan. Baik dari kepentingan pragmatik (problem solving) maupun dalam kepentingan akademik (kemungkinan ditemukannya bangunan konsep atau teori). Semua itu akan sangat tergantung pada jenis penelitian yang akan dilakukan: apakah penelitian akademik, penelitian kebijakan, penelitian aksi atau penelitian jenis lainnya.
Biasanya yang sering ditemukan dalam research design adalah ketidakkonsistenan antara rumusan masalah, tujuan penelitian dan kesimpulan. Seringkali kesimpulan yang dimuat sama sekali tidak ada hubungannya dengan tujuan yang telah dirumuskan. Karena itu yang perlu dilihat secara cermat dan teliti adalah apakah antara rumusan masalah, tujuan penelitian dan kesimpulan sudah terjadi konsistensi dan koherensi.
Kembali saya kutip tujuan penelitian yang diulakukan UGM (1997) sebagai berikut:
Partama, menemukan “benang-merah” yang menghubungkan beberapa tipe kerusuhan sosial tersebut, yaitu menemukan kondisi yang mendasari munculnya perilaku kekerasan kolektif itu.
Kedua, mengusulkan kebijakan publik guna membenahi kondisi demi mencegah berulangnya kejadian tersebut.
Di sini terlihat bahwa tujuan penelitian berkaitan atau satu-kesatuan dengan rumusan masalahnya. Meskipun kegunaan penelitiannya dijadikan satu dengan tujuan penelitiannya. Sementara tujuan pertama yang dirumuskan jauh lebih sederhana dibandingkan tujuan kedua yang ingin dilakukan (problem solving) yaitu mencegah berulangnya kerusuhan.


5. Kegunaan Hasil Penelitian
Kegunaan penelitian sebenarnya lebih diperuntukkan untuk menjawab kebutuhan yang lebih pragmatik daripada kebutuhan akademik. Karena itu rumusan yang dikemukakan, jika penelitian itu akan menjanjikan rekomendasi, maka rumusannya harus menyakinkan dan berhasil-guna seperti yang telah ditawarkan dalam tujuan penelitian. Dalam banyak kasus antara tujuan dan kegunaan penelitian tidak jarang dijadikan satu, seperti yang kita saksikan dalam penelitian UGM, meskipun umumnya dipisahkan.


6. Tinjauan Pustaka/ Kerangka Teori/Kerangka Pemikiran
Tinjauan pustaka pada dasarnya berisi kajian literatur yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan dan kegunaannya untuk menunjang rencana penelitian yang diajukan. Sementara kerangka teori merupakan masalah yang paling pokok dalam sebuah penelitian. Dengan penelitian peneliti dapat menemukan teori baru atau sekedar membuktikan kebenaran teori lama.
Dalam penelitian eksplanasi sangat jelas jika sebuah hipotesa itu terbukti dengan cara verifikasi dan/atau falsifikasi yang terus menerus, maka posisinya bisa naik menjadi theory, middle theory, atau mungkin malah menjadi grand theory. Sebaliknya dalam penelitian kualitatif (grounded), posisi teori bukan untuk diuji tetapi sekedar untuk membantu memahami atau menafsirkan realitas sosial yang akan diteliti.
Misalnya, mengapa masalah agama dan etnis merupakan ikatan sub-primordial yang paling sensitif dalam provokasi politik dan konflik sosial. Jika tujuan kita melakukan penelitian adalah untuk memahami, maka di sini jelas tidak ada verifikasi teori. Posisi teori hanya dimanfaatkan untuk membantu memahami atau menafsirkan gejala sosial yang ada. Sebaliknya dalam penelitian kuantitatif (survei) yang bersifat eksplanasi atau prediksi maka posisi teori sudah sangat jelas. Dengan demikian cukup jelas bahwa rumusan penelitian merupakan satu-kesatuan dengan tujuan penelitian, sedangkan tujuan penelitian akan sangat menentukan jenis teori yang akan digunakan. Jika tujuan penelitian hanya mendiskripsikan realitas sosial, maka posisi teori hanyalah diposisikan untuk memahami atau menafsirkan temuan-temuan lapangan. Sebaliknya jika tujuan penelitiannya untuk eksplanasi, maka posisi teori untuk verifikasi (pembuktian teori).
Dalam posisi ini teori didefinisikan; pertama, merupakan serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan. Kedua, menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep dan bagaimana bentuk hubungannya (Effendi, 1989:37).
Misalnya, kita akan meneliti gejala bunuh diri yang sangat marak di Gunung Kidul, Propinsi DIY, dengan menggunakan teori bunuh dirinya Emile Durkheim, yang mengatakan adanya hubungan antara kohesi sosial dengan pemahaman keagamaan. Menurut temuan Durkheim orang Protestan atau orang yang sendirian ternyata lebih mudah melakukan bunuh diri dibandingkan orang Katolik dan orang yang sudah berkeluarga. Alasannya hirarkhi gereja yang ketat dalam agama Katolik dan keterikatan orang yang sudah berkeluarga, membuat kohesi sosial lebih kuat dibandingkan agama Protestan dan orang yang sendirian yang ikatan sosialnya lebih longgar. Namun ternyata orang-orang yang banyak bunuh diri di Wonosari, Gunung Kidul, Yogjakarta, itu malah orang-orang Katolik atau Islam yang sudah berkeluarga, misalnya. Jadi disini uji teori telah dilakukan, termasuk mencari jawab atas tidak berlakunya teori Durkheim dan kemungkinan pengaruh variable lain.
Sementara fungsi teori sebagai prediksi, misalnya, telah ditemukan sebuah hitungan bahwa dalam situasi krisis ekonomi yang sekarang ini setiap pertumbuhan negatif 1 persen akan ada 400.000 orang yang menganggur. Dengan demikian jika sekarang pertumbuhan ekonomi kita terkontraksi 15 %, paling tidak akan ada 6 juta angkatan kerja baru yang menganggur. Di sini posisi teori sebagai peramal realitas sosial sangatlah jelas.
Yang biasanya agak membingungkan bagi peneliti, ketika harus meletakkan posisi teori sebagai alat untuk memahami atau menafsirkan realitas sosial, yang umumnya dikerjakan dalam penelitian kualitatif. Misalnya, mengapa etnis Minang itu lebih memiliki bakat kewirausahaan dibandingkan etnis lain. Apakah hal ini berkaitan dengan sistem kekerabatan yang matrilineal: dimana laki-laki secara kultural memiliki posisi yang lemah, khususnya dalam hal waris, atau ada faktor lain. Sehingga seorang laik-laki akan dianggap “cacat” secara kebudayaan jika mereka tidak merantau guna mempertegas identitas diri. Dengan kata lain merantau bukanlah sekedar upaya mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi juga, merupakan tugas kebudayaan. Namun, mengapa keberhasilan suku ini cenderung ada plafonnya (sulit menjadi pengusaha besar) dibandingkan etnik Cina. Lalu kita menggunakan teori Max Weber tentang afinitas antara kesadaran keagamaan (sekte Calvin) dengan tingkah laku ekonomi, misalnya. Disini jelas posisi teori bukan untuk diverifikasi tetapi sebagai usaha pemahaman (verstehen) atas realitas yang ada.
Dengan demikian dalam bentuk penelitian apapun, dalam tahap tertentu, penggunaan teori tetap diperlukan. Hanya saja biasanya yang masih membingungkan dalam penyusunan research design, dimanakah teori itu harus diletakkan; apakah sebagai penjelas dalam arti verifikasi teori atau sekedar untuk membantu memahami gejala sosial yang ada. Dengan demikian posisi teori pada dasarnya sangat ditentukan oleh tujuan penelitiannya. Jika dalam penelitian itu antara lain untuk menguji hipotesa, maka jelas bahwa posisi teori adalah sebagai alat pembuktian. Sebaliknya jika penelitian itu bersifat deskriptif maka posisi teori untuk membantu mengkategorisasikan data atau memahami fenomena sosial yang ada. Yang paling sering ditemui, meskipun teori sudah disusun sedemikian rupa, tetapi teori ternyata tidak dibunyikan dalam analisa. Seolah-olah bab teori menjadi bagian yang terpisah sama sekali dengan temuan lapangan.
Kembali pada contoh penelitian yang dilakukan UGM, rupanya mereka telah menyatukan antara tinjauan pustaka dengan kerangka teori. Meskipun dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan, dalam pembahasannya dipilah dalam dua bagian. Pertama, yang berkaitan dengan konseptualisasi tentang kekerasan (violence): dan kedua, tentang teori-teori yang mencoba menjelaskan teori tersebut.
Dalam mendifinisikan apa yang dimaksud dengan kekerasan, misalnya, tim ini, menggunakan definisi Ted Robert Gurr yang memusatkan pada “polical violence” dan juga, definisi Johan Galtung, yang memilah kekerasan langsung (violence as action) dengan kekerasaan tidak langsung yang built in dalam struktur (violence as structure). Dengan pengembangkan pikiran Galtung, mengembangkan konseptualisasi tentang kekerasaan yang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga, yang dilakukan penyelenggara negara dan pengendali kapital. Jadi, kekerasan politik bisa berlangsung dalam tiga aras: negara, struktur sosial, dan personal atau komunitas.
Kemudian untuk menerangkan jenis kerusahaan yang memungkinkan melibatkan masalah etnisitas seperti di Kalimantan Barat dan Irian Jaya, tim, menggunakan teori “etho-nationalism”, baik yang beraliran primordialist maupun instrumentalist. Bagi aliran primordialist beranggapan bahwa banyak gerakan politik berbasis suku yang menekankan nasionalisme etnik. Dan ini merupakan tradisi kultural yang didasarkan pada identitas etnik primordial. Motivasi utama tindakan politik mereka adalah memelihara identitas kultural. Sebaliknya, menurut etno-nationalism “instrumentalist” menafsirkan isyu etnisitas itu sekedar sebagai “an exercise in boundary maintenance” (Willian A Douglas (1993) dan berasumsi bahwa gerakan komunal merupakan respon dari perlakukan diskriminasi (pilih-kasih). Dengan kata lain penggunaan simbol-simbol etnik pada dasarnya didasarkan pada alasan praktis, yaitu sebagai sarana efektif untuk menimbulkan dukungan emosional.
Berikutnya setelah melakukan kritik terhadap teori Gurr tentang “deprivasi relatif” dan “ethno-nasinalis” yang instrumentalist melalui pandangan Charles Tilly (1978), yang mengatakan bahwa “kekerasan politik itu terjadi bukan karena ekspresi emosional masyarakat tetapi merupakan tindakan rasional atau tindakan instrumental untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Ringkasnya kekerasan politik adalah hasil kalkulasi politik.”
Seterusnya untuk mencari penjelasan tentang faktor-faktor yang dianggap menentukan intensitas kekecewaan dan potensial dalam melakukan tindakan politik bagi kelompok minoritas, juga menggunakan teori Gurr, sedangkan tentang penguatan identitas dan kohesi kelompok, tim menggunakan konseptualisasi Peter Blau, mengenai struktur pemilahan social (social cleavages) dalam masyarakat.
Yang ingin ditunjukkan di sini adalah setiap variable yang akan dicari jawaban nya dalam penelitian telah dicarikan landasan teorinya; guna untuk membantu memahami data yang ditemukan atau membantu hipotesa kerja yang telah dibangun.


7. Hipotesa
Sebagaimana kita ketahui bahwa masalah hipotesa memegang peran sentral dalam setiap penelitian ilmu sosial, baik yang menggunakan metode kuantitatif maupun metode kualitatif. Menurut Young, seperti dikutip Melly G. Tan (1983:37) peranan hipotesa dalam penelitian ilmu sosial dapat diperinci sebagai berikut : (1) memberikan tujuan yang tegas bagi penelitian; (2) membantu dalam menentukan arah yang harus ditempuh, dalam pembatasan ruang lingkup penelitian dengan memilih fakta-fakta yang menjadi pokok penelitian dan menentukan fakta-fakta yang relevan; (3) menghindarkan suatu penelitian yang tidak terarah dan tidak bertujuan.
Sementara dari segi jenisnya hipotesa itu pada dasarnya ada dua. Pertama, hipotesa penguji. Kedua, hipotesa kerja. Jika hipotesa penguji lebih merupakan instrumen teori untuk diuji kebenarannya secara empiris: apakah hipotesa itu ditolak atau diterima, maka dalam hipotesa kerja tidak ada pembuktian atau pengujian empiris. Hipotesa kerja merupakan rumusan atau tanggapan mengenai arah penelitian dan bukan mengenai hasil penelitian.
Dalam penelitian kuantitatif hipotesa pada dasarnya merupakan hasil deduksi dari teori atau preposisi, yang lebih spesifik sehingga lebih siap untuk diuji secara empiris. Misalnya kita ingin menjelaskan mengapa perilaku agresif lebih menonjol pada suatu lingkungan masyarakat tertentu jika dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Untuk menjelaskan gejala itu kita membutuhkan teori agresif yang salah satu preposisinya menyatakan bahwa frustasi menyebabkan tindakan agresif. Tentu saja proposisi semacam ini masih membutuhkan hipotesa yang lebih rinci, misalnya tindakan agresif lebih tinggi pada kelompok masyarakat yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi daripada tingkat kepadatan penduduk yang lebih rendah’ (Effendi, 1989:43). Di sini sangat jelas bahwa hipotesa dalam penelitian kuantitatif adalah untuk memverifikasi teori.
Dalam penelitian kualitatif hipotesa (kerja) lebih merupakan semacam petunjuk jalan, yang bisa disusun sebelum dan/atau ketika penelitian itu sedang berlangsung. Tujuannya bukan untuk diverifikasi melainkan untuk dijadikan pedoman kerja, yang setiap saat bisa berubah jika ada temuan-temuan yang berbeda dengan asumsi semula. Jadi dalam penelitian kualitatif hipotesa bisa dipungut dijalan.
Kembali pada penelitian UGM, dalam menjawab mengapa terjadi kekerasan seperti kerusuhan, dalam penelitian itu telah dikembangkan hipotesa kerja bahwa “kekerasan politik pada aras komunitas itu terjadi karena adanya perasaan frustasi yang mendalam dan meluas di kalangan masyarakat. Terutama dalam “relative deprivation”, yaitu ketidaksesuaian antara “value expectation” masyarakat (yaitu harapan akan barang-barang atau kondisi hidup yang mereka yakini sebagai hak) dengan “value capability” mereka (yaitu barang-barang atau kondisi yang mungkin mereka peroleh atau kemampuan sistem untuk memungkinkan orang memperoleh barang-barang dan kondisi yang mereka inginkan). Kondisi inilah yang menimbulkan frustasi. Dengan demikian jika intensitas kekecewaan itui semakin tinggi dan menyentuh berbagai lapisan, termasuk kaum elit, maka kekerasan yang muncul akan semakin meluas dan dalam bentuk yang lebih canggih (Gurr, 1970:3-9). Dari teori Gurr ini kemudiaan diperas menjadi hipotesa yang lebih rinci bahwa “kekecewaan masyarakat terhadap deprevasi dan perlakuan yang tidak adil merupakan motif utama tindak kekerasan politik seperti kerusuhan”.
Apa yang ingin saya sampaikan disini, dengan panjang lebar mengutip penelitian UGM tersebut adalah: Pertama, hipotesa kerja pada dasarnya dapat diturunkan dari hasil kajian pustaka atau hasil penelitian orang lain. Kedua, setiap variable atau lebih tepatnya hubungan antar variable yang akan dicari penjelasannya perlu landasan teoritik yang mapan. Meskipun posisinya untuk membantu memahami atau menafsirkan realitas dan bukan untuk diverifikasi. Ketiga, dalam kasus penelitian UGM yang kualitatif itu, terlihat bahwa setiap pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan kekerasan, selalu dilandasi oleh kerangka teoritik yang jelas: kekerasan politik (Ted Robert Gurr), psikologis (Johan Galtung), ikatan primordialist (William A Douglas), struktur pemilahan social (Peter Blau) dan sebagainya. Keempat, dari seluruh kerangka teoritik yang dikutib, seluruhnya berfungsi untuk membantu mencari penjelasan terhadap masalah yang diteliti (ingat posisi teori dalam penelitian kualitatif).


8. Sampel
Sebagaimana diketahui bahwa dalam penelitian survei ada prinsip keterwakilan (representativeness) atau probilitas dalam generalisasi hasil-hasil temuan, sehingga masalah sampel sangat penting. Sebaliknya dalam penelitian kualitatif karena tidak ada prinsip keterwakilan, maka masalah jumlah sampel tidak menjadi fokus utama. Sebagai konsekuensinya tidak ada prinsip generalisasi atau prediksi. Dalam penelitian kualitatif yang sering dilakukan dalam bentuk studi kasus, tidak ada kesimpulan yang dapat digeneralisasikan. Ia hanya berlaku dalam kasus yang diteliti saja.
Dengan demikian jika dalam penelitian kuantitatif masalah jumlah sampel menjadi ukuran pokok untuk menentukan validitas hasil penelitian yang dilakukan, maka dalam penelitian kualitatif yang krusial adalah tingkat kedalamannya. Karena itu tidak mengherankan jika dalam penelitian kuantitatif yang menjadi instrumen utama adalah kuesioner maka dalam penelitian kualitatif yang menjadi alat utamanya adalah peneliti itu sendiri.
Karenanya jika penelitian yang dilakukan bentuknya survei, maka dalam research design juga sudah harus dikemukakan secara jelas bagaimana teknik pengambilan sampel akan dilakukan termasuk besarnya sampel serta alasan-alasannya. Misalnya, jika menggunakan sampel acak stratifikasi proporsional atau sampel acak stratifikasi tidak proposional atau mungkin sample klaster, semuanya harus dijelaskan yang disertai oleh alasan-alasan atas pilihan itu.

9. Instrumen
Seperti dijelaskan diatas bahwa instrumen pokok dalam penelitian kuantitatif adalah kuestioner, sedangkan dalam penelelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu dalam research design sudah harus disertakan kuestionernya. Sayangnya karena terbatasnya tempat tentang bagaimana tehnik membuat kuestioner yang baik tidak dapat diuraikan disini. Namun yang jelas dalam kuestioner harus ada variabel yang akan diukur termasuk penurunan indikatornya harus konsisten dengan hipotesa dan tujuan yang telah dirumuskan. Demikian juga untuk penelitian kualitatif harus sudah disertakan cheklistnya dan pedoman wawancara meskipun wawancara yang akan dilakukan tak berstruktur.



10. Pemilihan Lokasi:
Satu hal yang seringkali dianggap sepele dan diabaikan dalam pembuatan research design adalah masalah penetapan lokasi penelitian. Penetapan lokasi penelitian tentu saja harus disesuaikan dengan masalah penelitian yang akan digarap dan bukan atas dasar pertimbangan pragmatis yang kurang relevan dengan problem atau pertanyaan penelitian yang akan dicari. Misalnya, karena dekat rumah, atau malah meneliti di kampus sendiri dan sebagainya. Kalau saja pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), semuanya harus tetap didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ilmiah daripada pertimbangan pragmatis. Meskipun tidak ada larang untuk memilih lokasi dekat daerah asal, tempat kelahiran dan sebagainya, tetapi pertimbangannya tentu bukan untuk mencari kemudahan akomodasi tetapi lebih pada kebutuhan problem penelitian yang akan dilakukan itu sendiri.


11. Analisa Data
Untuk analisa data penelitian kuantitatif sebenarnya sangatlah sederhana. Apalagi sekarang sudah ada program SPSS. Kita tinggal memasukkan data dan mengolah menurut keinginan kita. Apakah kita akan menggunakan analisa sederhana seperti chisquare, product moment, regresi dan sebagainya sangat tergantung pada kebutuhan dan tujuan penelitian kita. Tetapi semua rencana analisa itu harus disebutkan dalam research design. Sedangkan pada penelitian kualitatif teknik analisa datanya jauh lebih rumit dan harus memiliki konsistensi dengan metodologi yang digunakan. Misalnya jika kita menggunakan metodelogi fenomenologi maka analisa data yang digunakan juga harus konsisten. Atau jika kita melakukan penelitian teks sastra dengan menggunakan analisanya strukturalisme Levi Strauss, maka kita harus menggunakan analisa yang konsisten atas prinsip-prinsip yang dikembangkan Strauss dan seterusnya.
Dalam analisa penelitian kualitatif, misalnya, dengan menggunakan analysis interactive model yang dikembangkan Miles dan Haberman (1987) seperti mulai data collection and timing, data display, data reduction and analysis, hingga conclution: atau, dengan menggunakan 12 langkahnya Spartley7 dalam studi etnografi8 dsb. Disamping itu dalam research design juga perlu disertakan adalah rincian budget, time table, expected outcomes or benefits, problems and limitation.

Disarikan dari: Prof. Anas S. Machfudz, APU, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), diakses Minggu, 3 Juni 2012, pukul 10.30 WIB

6/04/2012

Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran PKn

Pengembangan kurikulum merupakan bagian yang sangat esensial dalam proses pembelajaran. Ada 4 bagian penting dalam kurikulum meliputi: tujuan, isi/materi, strategi pembelajaran, dan evaluasi. Ke-4 bagian/komponen penting kurikulum ini saling berkaitan dan berinteraksi untuk mencapai perilaku yang diinginkan/dicita-citakan oleh tujuan pendidikan nasional.
Tujuan yang jelas akan memberi petunjuk yang jelas pula dalam memilih isi/materi yang harus dikuasai, strategi yang akan digunakan serta bentuk dan alat evaluasi yang tepat untuk mengukur ketercapaian kurikulum.
Hierarki perumusan tujuan kurikulum dimulai dari tujuan umum pendidikan, kemudian tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional.
Materi/isi kurikulum menurut Saylor dan Alexander adalah fakta-fakta, observasi, data, persepsi, penginderaan, pemecahan masalah yang berasal dari pikiran manusia dan pengalamannya yang diatur dan diorganisasikan dalam bentuk konsep, generalisasi, prinsip, dan pemecahan masalah.
Strategi pembelajaran berkaitan dengan bagaimana menyampaikan isi/materi kurikulum agar tujuan tercapai dan komponen evaluasi kurikulum adalah untuk menilai apakah tujuan kurikulum telah tercapai. Hasil dari evaluasi kurikulum adalah berupa umpan balik apakah kurikulum ini akan direvisi atau tidak.
Kurikulum adalah apa yang akan diajarkan sedangkan pembelajaran adalah bagaimana menyampaikan apa yang diajarkan. Menurut McDonald & Leeper kegiatan kurikulum adalah memproduksi rencana kegiatan, sedangkan pembelajaran adalah kegiatan melaksanakan rencana tersebut. Kurikulum dan pembelajaran pada dasarnya merupakan subsistem dari suatu sistem yang lebih besar, yaitu sistem persekolahan. Kurikulum dan pembelajaran adalah dua sistem yang saling terkait satu sama lain secara terus-menerus dalam suatu siklus.
Menurut Gagne dan Briggs pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang untuk mempengaruhi proses belajar dalam diri siswa. Menurut Gredler proses perubahan sikap dan tingkah laku siswa pada dasarnya terjadi dalam satu lingkungan buatan dan sangat sedikit bergantung pada situasi alami, ini artinya agar proses belajar siswa berlangsung optimal guru perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Proses menciptakan lingkungan belajar yang kondusif ini disebut pembelajaran.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam mengelola kegiatan pembelajaran adalah:
harus berpusat pada siswa yang belajar
belajar dengan melakukan,
mengembangkan kemampuan sosial,
mengembangkan keingintahuan,
imajinasi dan fitrah anak
mengembangkan keterampilan memecahkan masalah
mengembangkan kreativitas siswa,
mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi
menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik, dan
belajar sepanjang hayat.
Pengembangan kurikulum adalah suatu istilah yang ada dalam studi kurikulum, yaitu sebagai alat untuk membantu guru melakukan tugasnya menyampaikan pembelajaran yang menarik minat siswa. Kegiatan pengembangan kurikulum ini perlu dilakukan untuk menghadapi dan mengantisipasi keadaan berikut, yaitu merespons perkembangan ilmu dan teknologi, perubahan sosial di luar sistem pendidikan, memenuhi kebutuhan siswa dan merespons kemajuan-kemajuan dalam pendidikan.
Masalah yang ada dalam proses pengembangan kurikulum biasanya berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana memilih materi yang diajarkan, apa yang harus dilakukan bila ada pandangan yang bertolak belakang dengan pengembang dan bagaimana menerapkan kurikulum secara meyakinkan.
Landasan Pengembangan Kurikulum
Landasan pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan pada waktu mengembangkan suatu kurikulum lembaga pendidikan, baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Secara umum terdapat tiga aspek pokok yang mendasari pengembangan kurikulum tersebut, yaitu: landasan filosofis, landasan psikologis, dan landasan sosiologis.
Landasan filosofis berkaitan dengan pentingnya filsafat dalam membina dan mengembangkan kurikulum pada suatu lembaga pendidikan. Filsafat ini menjadi landasan utama bagi landasan lainnya. Perumusan tujuan dan isi kurikulum pada dasarnya bergantung pada pertimbangan-pertimbangan filosofis. Pandangan filosofis yang berbeda akan mempengaruhi dan mendorong aplikasi pengembangan kurikulum yang berbeda pula. Berdasarkan landasan filosofis ini ditentukan tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan bidang studi, dan tujuan instruksional.
Landasan psikologis terutama berkaitan dengan psikologi/teori belajar (psychology/theory of learning) dan psikologi perkembangan (developmental psychology). Psikologi belajar memberikan kontribusi dalam hal bagaimana kurikulum itu disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya. Dengan kata lain, psikologi belajar berkenaan dengan penentuan strategi kurikulum. Sedangkan psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi kurikulum yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan kedalamannya sesuai dengan taraf perkembangan siswa tersebut.
Landasan sosiologis dijadikan sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum karena pendidikan selalu mengandung nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Di samping itu, keberhasilan suatu pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya yang menjadi dasar dan acuan bagi pendidikan/kurikulum. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai produk kebudayaan diperlukan dalam pengembangan kurikulum sebagai upaya menyelaraskan isi kurikulum dengan perkembangan dan kemajuan yang terjadi dalam dunia iptek.
Kegiatan Belajar 2:Prinsip, Pendekatan, dan Langkah-langkah dalam Pengembangan Kurikulum
Rangkuman
Setiap pengembangan kurikulum, selain harus berpijak pada sejumlah landasan, juga harus menerapkan atau menggunakan prinsip-prinsip tertentu. Dengan adanya prinsip tersebut, setiap pengembangan kurikulum diikat oleh ketentuan atau hukum sehingga dalam pengembangannya mempunyai arah yang jelas sesuai dengan prinsip yang telah disepakati.
Secara umum prinsip-prinsip pengembangan kurikulum meliputi prinsip relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, serta efisiensi dan efektivitas.
Prinsip relevansi berkenaan dengan kesesuaian antara komponen tujuan, isi, strategi, dan evaluasi. Prinsip fleksibilitas berkenaan dengan kebebasan/keluwesan yang dimiliki guru dalam mengimplementasikan kurikulum dan adanya alternatif pilihan program pendidikan bagi siswa sesuai dengan minat dan bakatnya. Prinsip kontinuitas berkenaan dengan adanya kesinambungan materi pelajaran antarberbagai jenis dan jenjang sekolah serta antartingkatan kelas. Prinsip efisiensi dan efektivitas berkenaan dengan pendayagunaan semua sumber secara optimal untuk mencapai hasil yang optimal.
Sementara itu, prinsip khusus yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi, antara lain: prinsip keimanan, nilai dan budi pekerti luhur, penguasaan integrasi nasional, keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinetika, kesamaan memperoleh kesempatan, abad pengetahuan dan teknologi informasi, pengembangan keterampilan hidup, berpusat pada anak, serta pendekatan menyeluruh dan kemitraan.
Apabila dianalisis secara mendalam beberapa prinsip khusus yang diterapkan dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, pada dasarnya merupakan penjabaran dari empat prinsip umum pengembangan kurikulum.
Ada dua pendekatan dalam pengembangan kurikulum, yaitu pendekatan administratif dan akar rumput. Pendekatan administratif adalah suatu pendekatan dalam pengembangan kurikulum di mana ide atau inisiatif pengembangan muncul dari para pejabat atau pengembang kebijakan seperti Menteri Pendidikan, Kepala Dinas dan lain-lain. Sedangkan pendekatan akar rumput, ide pengembangan muncul dari keresahan para guru-guru yang mengimplementasikan kurikulum di sekolah di mana mereka menginginkan perubahan atau penyempurnaan sesuai dengan kebutuhan di sekolah.
Ada beberapa langkah dalam pengembangan kurikulum, yaitu analisis dan diagnosis kebutuhan, perumusan tujuan, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan dan pengorganisasian pengalaman belajar, dan pengembangan alat evaluasi.
Analisis dan diagnosis kebutuhan dilakukan dengan mempelajari tiga hal, yaitu: kebutuhan siswa, tuntutan masyarakat/dunia kerja, dan harapan-harapan dari pemerintah. Adapun caranya dapat dilakukan melalui survei kebutuhan, studi kompetensi, dan analisis tugas.
Langkah pengembangan kurikulum selanjutnya setelah seperangkat kebutuhan tersusun adalah perumusan tujuan, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan dan pengorganisasian pengalaman belajar, serta pengembangan alat evaluasi.
Kerangka Dasar Kurikulum 2004
Landasan, Prinsip Pengembangan dan Pelaksanaan Sistem Persekolahan, dan Standar Kompetensi
Rangkuman
Adanya perkembangan dan perubahan yang terus-menerus dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang dipengaruhi oleh perubahan global, perkembangan pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya menuntut perlunya perubahan sistem pendidikan nasional termasuk penyempurnaan kurikulum.
Perbaikan sistem pendidikan ini dimaksudkan untuk memperoleh masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut secara khusus untuk mengembangkan aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, dan keterampilan dari peserta didik agar nantinya memiliki kompetensi untuk bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan kemajuan yang ada.
Penyempurnaan kurikulum dilandasi oleh kebijakan yang ada dalam peraturan UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
Prinsip pengembangan kurikulum meliputi peningkatan keimanan dan budi pekerti, keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika, penguatan integritas nasional, perkembangan pengetahuan dan IT, kecakapan hidup 4 pilar pendidikan dan belajar sepanjang hayat.
Prinsip pelaksanaan kurikulum didasarkan pada kesamaan memperoleh kesempatan, berpusat pada anak, pendekatan menyeluruh dan kemitraan.
Jenjang pendidikan terdiri dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi yang diselenggarakan pada jalur formal dan non-formal.
Standar nasional pendidikan meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga pendidikan, sarana dan prasarana pengelolaan dan penilaian.
Mata pelajaran memuat sejumlah kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa per kelas dan satuan pendidikan. Tolok ukur kompetensi di tentukan dalam indikator.
Standar kompetensi lulusan dijabarkan dalam standar isi yang memuat bahan kegiatan, mata pelajaran, dan kegiatan belajar pembiasaan.
Kompetensi lintas kurikulum merupakan kompetensi kecakapan hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar secara berkesinambungan.
Struktur dan Pelaksanaan Kurikulum 2004
Struktur kurikulum berisi tiga hal, yaitu sejumlah mata pelajaran, kegiatan belajar pembiasaan, dan alokasi waktu.
Kegiatan belajar pembiasaan dilakukan secara berkesinambungan mulai dari pendidikan taman kanak-kanak, pendidikan dasar, dan menengah.
Taman kanak-kanak dan raudhatul athfal merupakan bentuk pendidikan usia dini pada jalur pendidikan formal. Struktur kurikulum TK memuat dua bidang pengembangan, yaitu pengembangan kegiatan belajar pembiasaan dan bentuk-bentuk kemampuan dasar.
Penjelasan kegiatan pembiasaan di TK, SD dilakukan dengan pendekatan tematik yang diorganisasikan sekolah.
Kurikulum SMA dan MA ada dua jenis, yaitu kurikulum program studi dan struktur kurikulum program pilihan. Struktur program studi terdiri atas ilmu alam, ilmu sosial, dan bahasa.
Kurikulum program pilihan di SMA dan MA bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk memilih mata pelajaran sesuai dengan potensi, bakat, dan minat peserta didik.
Pelaksanaan kurikulum 2004 menerapkan prinsip “Kesatuan dalam kebijakan dan keberagaman dalam pelaksanaan”.
Standar nasional ditentukan pusat dan cara pelaksanaannya disesuaikan masing-masing daerah/sekolah. Pelaksanaan kurikulum sekolah ini harus memperhatikan:
perencanaan dan pelaksanaan sesuai standar yang telah ditetapkan,
perluasan kesempatan berimprovisasi dan berkreasi dalam meningkatkan mutu,
menugaskan tanggung jawab bersama antara orang tua, sekolah, dan masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam meningkatkan mutu pendidikan,
peningkatan pertanggungjawaban kinerja penyelenggaraan pendidikan,
mewujudkan ketentuan dan kepercayaan dalam pengelolaan pendidikan sesuai otoritasnya,
penyelesaian masalah pendidikan sesuai karakteristik wilayah.
Kurikulum dapat didiversifikasi untuk melayani keberagaman penyelenggaraan kebutuhan dan kemampuan sekolah dan melayani minat peserta didik.
Kegiatan kurikuler dikelompokkan menjadi kegiatan intrakurikuler, yaitu kegiatan pembelajaran untuk menguasai kompetensi dan ekstrakurikuler adalah kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan secara kontekstual dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan untuk memenuhi tuntutan penguasaan kompetensi mata pelajaran, pembentukan karakter, peningkatan kecakapan hidup sesuai kebutuhan dan kondisi sekolah.
Kegiatan belajar pembiasaan diselenggarakan secara ber-kesinambungan mulai dari TK, SD, SMA, mengutamakan kegiatan pembentukan dan pengendalian perilaku yang diwujudkan dalam kegiatan rutin, spontan, dan mengenal unsur-unsur penting kehidupan.
Tantangan Kurikulum dan Pembelajaran di Abad XXI
Life Skills (Pendidikan Kecakapan Hidup)
Life skills atau pendidikan kecakapan hidup (PKH) adalah interaksi berbagai pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting dimiliki oleh seseorang sehingga mereka dapat hidup mandiri. Kecakapan hidup adalah kecakapan yang dapat membantu siswa belajar bagaimana memelihara tubuhnya, tumbuh menjadi dirinya, bekerja sama secara baik dengan orang lain, membuat keputusan yang logis, melindungi dirinya sendiri dan mencapai tujuan dalam hidupnya.
PKH perlu dikenalkan pada siswa karena dapat membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan belajar (learning how to learn), karena kecakapan ini diperlukan oleh semua orang. Makna kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja karena diharapkan dengan kecakapan ini, seseorang dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dengan baik.
PKH terdiri dari:
kecakapan personal GLS (kecakapan hidup general),
kecakapan sosial GLS,
kecakapan akademik SLS (kecakapan hidup spesifik),
kecakapan vokasional SLS.
Keempat pilar pendidikan dari UNESCO adalah perwujudan dari siswa yang memiliki kecakapan hidup sesuai standar UNESCO. Keempat pilar ini kemudian diwujudkan dalam berbagai kompetensi yang ada dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Pelaksanaan PKH di sekolah perlu kerja sama semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pendidikan di sekolah, misalnya persetujuan dan bantuan kepala sekolah, guru dan siswanya, guru-guru di kelas lain atau guru mata pelajaran lain, guru perpustakaan, orang tua siswa, staf administrasi sekolah dan lainnya. PKH perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah.
Keterampilan Melek Informasi (Information literacy)
Literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Sedangkan keterampilan melek informasi adalah serangkaian kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan kapan informasi dibutuhkan, mengidentifikasi dan menemukan lokasi informasi yang dibutuhkan, memanfaatkan informasi secara kritis dan etis, kemudian meng-komunikasikannya secara efektif dan efisien. Keterampilan melek informasi juga berhubungan dengan kemampuan untuk memecahkan. Siswa yang mempunyai keterampilan melek informasi adalah siswa yang independent dan competent, yang dapat beradaptasi dengan perubahan apapun secara mandiri dan fleksibel.
Manfaat keterampilan melek informasi adalah dapat membiasakan siswa untuk selalu belajar untuk meneliti sesuatu dengan menggunakan strategi ilmiah, mengajak mereka untuk rajin membaca dan menulis untuk menambah pengetahuan, wawasan, maupun kecerdasan siswa sebagai bekal menuju manusia berkualitas.
Pelaksanaan keterampilan melek informasi di kelas dapat menggunakan metode ilmiah. Penilaian keterampilan ini juga perlu penilaian menyeluruh yang dapat menilai kemampuan dan hasil kerja siswa.
Pengembangan Rencana Pembelajaran
Ada banyak model pengembangan rencana pembelajaran diantaranya model Gagne, model Kemp, model Gerlach & Ely, model Dick dan Carey, model Banathy, dan model PPSI. Masing-masing model memiliki perbedaan dan persamaan. Persamaan dari model tersebut adalah mengandung 3 kegiatan pokok, yaitu: mengidentifikasikan masalah; mengembangkan pemecahannya; dan menilai pemecahan, dan mengandung unsur dasar yang sama yaitu siswa, tujuan, metode dan kegiatan belajar-mengajar.
Ada 5 kriteria untuk memilih model, yaitu harus sederhana, lengkap, dapat diterapkan, luas, dan teruji.
Langkah-langkah pengembangan model Banathy adalah:
Merumuskan tujuan belajar secara spesifik dan objektif,
Menyusun tes untuk mengukur ketercapaian tujuan,
Menentukan tugas-tugas yang akan diberikan agar tujuan dicapai, dan
Menganalisis sistem yang meliputi analisis fungsi tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana, siapa yang akan melakukannya, membagi fungsi pada tiap komponen, dan menentukan jadwal kapan pelaksanaannya dan di mana tempatnya.
Adapun langkah pengembangan model Dick & Carey meliputi:
Merumuskan tujuan pembelajaran.
Menentukan macam kegiatan belajar/keterampilan yang me-mungkinkan tujuan pembelajaran tercapai.
Mengidentifikasi kemampuan awal dan karakteristik siswa untuk menentukan pola strategi pembelajaran.
Merumuskan tujuan khusus.
Menyusun butir-butir tes berdasarkan acuan patokan.
Mengembangkan strategi pembelajaran, berupa pengalaman belajar yang akan dialami siswa.
Mengembangkan dan memilih materi/bahan pembelajaran.
Mengadakan evaluasi formatif.
Mengadakan revisi sistem hasil evaluasi formatif.
Mengadakan evaluasi sumatif.
Adapun langkah-langkah mengembangkan model Gerlach & Ely adalah:
Pertama: menentukan materi yang akan diajarkan serta merumuskan tujuan pembelajaran.
Kedua: menilai perilaku siswa yang belajar.
Ketiga: melakukan lima hal secara simultan, yaitu: menentukan strategi; mengatur pengelompokan siswa; mengalokasikan waktu; menentukan tempat atau ruangan mengajar, dan memilih sumber belajar yang akan digunakan.
Kegiatan Belajar 2:Perencanaan Kegiatan Ekstrakurikuler
Rangkuman
Dari beberapa sumber, terdapat beberapa kesamaan pengertian ekstrakurikuler, yaitu pertama, kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang diprogramkan di luar jam pelajaran sekolah; kedua, kegiatan ekstrakurikuler diarahkan untuk membantu ketercapaian program kurikuler.
Perbedaan antara kegiatan ekstrakurikuler dengan kegiatan kurikuler dapat ditinjau dari sifat kegiatan, waktu pelaksanaan, tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, teknis pelaksanaan, serta kriteria evaluasi keberhasilan.
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh kegiatan ekstrakurikuler diantaranya adalah memperluas, memperdalam pengetahuan dan kemampuan/kompetensi yang relevan dengan program intrakurikuler, memberikan pemahaman terhadap hubungan antarmata pelajaran, menyalurkan minat dan bakat siswa, mendekatkan pengetahuan yang diperoleh dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat/lingkungan, serta melengkapi upaya pembinaan manusia seutuhnya.
Dalam upaya mencapai tujuan kegiatan ekstrakurikuler, ada sejumlah kegiatan yang dapat diprogramkan diantaranya adalah kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pembinaan kehidupan berbangsa dan bernegara, pembinaan kedisiplinan dan hidup teratur, pembinaan kemampuan berorganisasi dan kepemimpinan, pembinaan keterampilan, hidup mandiri dan kewiraswastaan, pembinaan hidup sehat dan kesegaran jasmani, serta pembinaan apresiasi dan kreasi seni. Kegiatan-kegiatan tersebut ditujukan untuk membantu secara langsung program kurikuler sekolah.
Keberhasilan kegiatan ekstrakurikuler, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya, sumber daya manusia yang tersedia seperti kepala sekolah, guru-guru; dana, sarana dan prasarana; serta perhatian orang tua siswa.
Perencanaan program kegiatan ekstrakurikuler perlu disusun oleh kepala sekolah bersama guru agar memperoleh hasil yang maksimal. Terdapat sejumlah komponen yang harus dirumuskan dalam perencanaan kegiatan ekstrakurikuler diantaranya bidang atau materi kegiatan, jenis kegiatan, tujuan atau hasil yang diharapkan, sarana penunjang, kendala atau hambatan yang mungkin muncul, waktu pelaksanaan, dan penanggung jawab. Sedangkan untuk pelaksanaan kegiatan, perlu diperhatikan beberapa prinsip diantaranya berorientasi pada tujuan, prinsip sosial dan kerja sama, prinsip motivasi, prinsip pengkoordinasian dan tanggung jawab, serta prinsip relevansi.
Konsep Dasar Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran berarti penyusunan langkah-langkah pelaksanaan suatu kegiatan yang terarah pada pencapaian tujuan tertentu. Komponen perencanaan pembelajaran terdiri dari kemampuan mendeskripsikan kompetensi pembelajaran, memilih dan menentukan materi, mengorganisasi materi, menentukan metode/strategi pembelajaran, menentukan perangkat penilaian, menentukan teknik penilaian, dan mengalokasikan waktu. Komponen-komponen itu merujuk pada apa yang akan dilakukan guru dan siswa dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan, sebelum kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya dilaksanakan.
Manfaat perencanaan pembelajaran adalah sebagai berikut.
sebagai petunjuk arah kegiatan dalam mencapai tujuan.
sebagai pola dasar dalam mengatur tugas dan wewenang bagi setiap unsur yang terlibat dalam kegiatan.
sebagai pedoman kerja bagi setiap unsur, baik unsur guru maupun siswanya.
sebagai alat ukur efektif tidaknya suatu pekerjaan, sehingga setiap saat dapat diketahui ketepatan dan kelambatan kerjanya.
sebagai bahan penyusunan data agar terjadi keseimbangan kerja.
perencanaan pembelajaran dibuat untuk menghemat waktu, tenaga, alat dan biaya.
Kegiatan Belajar 2: Pengembangan Silabus dan Rencana atau Satuan Pelajaran
Rangkuman
Silabus adalah garis besar ringkasan, ikhtisar, atau pokok-pokok materi pelajaran. Silabus adalah rancangan pembelajaran yang berisi rencana bahan ajar mata pelajaran tertentu pada kelas dan jenjang tertentu, sebagai hasil dari seleksi, pengelompokan, pengurutan dan penyajian materi kurikulum, yang dipertimbangkan berdasarkan ciri dan kebutuhan daerah setempat.
KBK atau Kurikulum 2004 menyebutkan silabus sebagai:
Seperangkat rencana dan pengaturan tentang kegiatan pembelajaran, pengelolaan kelas dan penilaian hasil belajar.
Komponen silabus menjawab 1) kompetensi apa yang akan dikembangkan pada siswa? 2) bagaimana cara mengembang-kannya? 3) bagaimana cara mengetahui bahwa kompetensi sudah dicapai siswa?
Tujuan pengembangan silabus adalah membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam menjabarkan kompetensi dasar menjadi perencanaan pembelajaran.
Sasaran pengembangan silabus adalah guru, kelompok guru mata pelajaran di sekolah, kelompok kerja guru, dan dinas pendidikan.
Isi silabus minimal harus mencakup unsur:
tujuan mata pelajaran,
sasaran mata pelajaran,
keterampilan yang diperlukan agar dapat menguasai mata pelajaran tersebut dengan baik,
uraian topik-topik yang akan diajarkan,
aktivitas dan sumber-sumber belajar pendukung keberhasilan pembelajaran,
berbagai teknik evaluasi yang akan digunakan.
Komponen silabus terdiri dari: 1) bidang studi yang akan diajarkan, 2) tingkat sekolah dan semester, 3) pengelompokan standar kompetensi, kompetensi dasar, 4) indikator, 5) materi pokok, 6) strategi pembelajaran, 7) alokasi waktu, dan 8) bahan/alat/media. Komponen pokok silabus terdiri dari: standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, dan materi pembelajaran.
Manfaat silabus adalah sebagai pedoman dalam pengembangan seluruh kegiatan pembelajaran.
Prinsip pengembangan silabus adalah: ilmiah, memperhatikan perkembangan dan kebutuhan siswa, sistematis, dan relevan.
Proses pengembangan silabus berbasis kompetensi terdiri atas tujuh langkah utama, yaitu: 1) penulisan identitas mata pelajaran, 2) perumusan standar kompetensi, 3) penentuan kompetensi dasar, 4) penentuan materi pokok dan uraiannya, 5) penentuan pengalaman belajar, 6) penentuan alokasi waktu, dan 7) penentuan sumber bahan.
Rencana mengajar merupakan realisasi dari pengalaman belajar siswa yang telah ditetapkan dalam penentuan pengalaman belajar. Guru dapat mengembangkan rencana pembelajaran dalam berbagai bentuk.
Perencanaan pembelajaran dapat dibagi menjadi rencana mingguan dan harian. Rencana harian adalah rencana pembelajaran yang disusun untuk setiap hari mengajar.
Dalam menyusun rencana pembelajaran harian ini guru perlu selalu berpusat pada siswa, dan semua kegiatan pembelajaran yang dapat melibatkan siswa dalam kegiatan belajar baik secara fisik maupun mentalnya.
Prinsip-prinsip persiapan mengajar adalah harus sederhana, dan fleksibel, kegiatan yang dikembangkan sesuai dengan kompetensi yang telah ditetapkan, persiapan pembelajaran harus utuh dan menyeluruh serta jelas indikatornya, kemudian, harus ada koordinasi antarkomponen pelaksana program sekolah.
Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran PKn
Dalam persekolahan di negara kita, nama mata pelajaran PKn SMP/SMA pernah muncul dalam kurikulum tahun 1957 dengan istilah Kewarganegaraan yang merupakan bagian dari mata pelajaran Tata Negara. Kemudian, pada tahun 1961 muncul istilah civics dalam kurikulum sekolah di Indonesia. Pada tahun 1968, mata pelajaran Civics berubah nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) atau Civic Education. Dalam kurikulum 1975 nama mata pelajaran PKN berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP), kemudian dalam kurikulum 1994 berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Selanjutnya, dalam kurikulum tahun 2004 nama mata pelajaran PPKn berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Para ahli memberikan definisi Civics dalam rumusan yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya memiliki makna yang sama, yaitu bahwa Civics merupakan unsur atau cabang keilmuan dari ilmu politik yang secara khusus terutama membahas hak-hak dan kewajiban warga negara.
Dalam standar kompetensi kurikulum 2004, ditegaskan bahwa “Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship Education)” adalah merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945.
Sedangkan dalam Encyclopedia of Educational Research dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dapat dibagi 2, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, pendidikan kewarganegaraan membahas masalah hak dan kewajiban. Sedangkan dalam arti luas, pendidikan kewarganegaraan membahas masalah: moral, etika, sosial, serta berbagai aspek kehidupan ekonomi (Suriakusumah, 1992). Sedangkan Turner dkk., mengungkapkan bahwa Civics merupakan suatu studi tentang hak-hak dan kewajiban dari warga negara.
Mata pelajaran PKn sangat esensial diberikan di persekolahan di negara kita sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil dan berkarakter (National Character Building) yang setia dan memiliki komitmen kepada bangsa dan negara Indonesia yang majemuk. Selain itu, pentingnya mata pelajaran PKn diberikan di sekolah adalah dalam rangka membina sikap dan perilaku siswa sesuai dengan nilai moral Pancasila dan UUD 1945 serta menangkal berbagai pengaruh negatif yang datang dari luar baik yang berkaitan dengan masalah ideologi maupun budaya.
Rumusan tujuan untuk masing-masing satuan pendidikan mengacu pada fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan-peraturan pemerintah yang menyertainya. Dalam merumuskan tujuan dan materi pelajaran PKn SMP dan SMA, di samping harus memperhatikan tingkat perkembangan siswa juga harus melihat kesinambungan, kedalaman, dan sekuen antarkelas dan/atau antarjenjang pendidikan untuk menghindari terjadinya pengulangan yang mungkin saja akan mengakibatkan kebosanan siswa.
Dalam standar kompetensi kurikulum PKn tahun 2004, ditegaskan bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai tujuan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan sebagai berikut.
Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
Berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam kurikulum PKn 2004 dikenal rumus indikator. Indikator-indikator tersebut merupakan indikator minimal untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik. Artinya, guru PKn dapat menambah dan mengembangkan indikator tersebut jika Anda menganggap indikator yang sudah ada belum memadai, dengan catatan tidak mengurangi indikator yang sudah ada.
Pembinaan Pribadi Siswa
Membahas tujuan PKn tidak bisa dipisahkan dari fungsi mata pelajaran PKn karena keduanya saling berkaitan, di mana tujuan menunjukkan dunia cita, yakni suasana ideal yang harus dijelmakan, sedangkan fungsi adalah pelaksanaan-pelaksanaan dari tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu, fungsi menunjukkan keadaan gerak, aktivitas dan termasuk dalam suasana kenyataan, dan bersifat riil dan konkret.
Demikian pula membicarakan fungsi PKn memiliki keterkaitan dengan visi dan misi mata pelajaran PKn. Mata pelajaran PKn memiliki visi, yaitu “terwujudnya suatu mata pelajaran yang berfungsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa (nation and character building) dan pemberdayaan warga negara”. Upaya pembinaan watak/ karakter bangsa merupakan ciri khas dan sekaligus amanah yang diemban oleh mata pelajaran PKn atau Civic Education pada umumnya.
Sedangkan misi mata pelajaran PKn, yaitu “membentuk warga negara yang baik yakni warga negara yang sanggup melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bernegara, dilandasi oleh kesadaran politik, kesadaran hukum, dan kesadaran moral”. Untuk mewujudkan misi di atas, jelas bahwa peserta didik harus memiliki kemampuan kewarganegaraan yang multidimensional agar dapat menjalankan hak dan kewajibannya dalam berbagai aspek kehidupan.
Sementara itu, mata pelajaran PKn berfungsi sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.
Jika rumusan fungsi PKn tersebut dihubungkan dengan dimensi keilmuan PKn maka fungsi PKn tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
fungsi PKn dalam membina kecerdasan /pengetahuan peserta didik;
fungsi PKn dalam membina keterampilan peserta didik;
fungsi PKn dalam membina watak/karakter peserta didik.
Melalui mata pelajaran PKn diharapkan peserta didik bukan hanya memiliki pengetahuan yang luas tentang materi pokok PKn yang meliputi politik, hukum, dan moral (pengetahuan kewarganegaraan), tetapi juga memiliki keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik, hukum, moral, dan terampil menggunakan hak dan kewajibannya di bidang politik, hukum, dan moral (keterampilan kewarganegaraan). Selain itu, melalui PKn diharapkan peserta didik memiliki sikap, rasa tanggung jawab dan hormat terhadap peraturan yang berlaku (watak kewarganegaraan).
Lingkup Materi PKn
Ruang lingkup materi PKn atau Civics menurut Hanna dan Lee meliputi berikut ini.
Informal content.
Formal Disciplines.
The response of pupils both to the informal and the formal studies.
Materi informal content merupakan bahan-bahan yang diambil dari kehidupan masyarakat sehari-hari yang ada di sekitar kehidupan siswa, meliputi berikut ini.
Bahan-bahan yang saling bertentangan (controversial issues).
Masalah yang sedang hangat dibicarakan dalam kehidupan masyarakat (current affairs).
Masalah yang tabu (taboo) atau Closed area yang terdapat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dalam kurikulum berbasis kompetensi, pembelajaran yang menghubungkan materi yang diajarkan dengan masalah-masalah kehidupan masyarakat dikenal dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Dalam pembelajaran CTL, peserta didik didorong untuk belajar melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan yang alamiah.
Sejalan dengan seringnya perubahan nama atau label mata pelajaran PKn dari masa ke masa maka ruang lingkup materi PKn pun mengalami perubahan sejalan
dengan dinamika dan kepentingan politik. Dalam kurikulum 1957, isi pelajaran Kewarganegaraan membahas cara-cara memperoleh kewarganegaraan dan cara-cara kehilangan kewarganegaraan Indonesia; sedangkan isi materi mata pelajaran Civics pada tahun 1961 adalah sejarah kebangkitan nasional, UUD, pidato politik kenegaraan, yang terutama diarahkan untuk “nations and character building” bangsa Indonesia. Dalam kurikulum 1968, muatan bahan PKN (Civic Education) sangat luas, karena bukan hanya membahas Civics dan UUD 1945, tetapi meliputi pula muatan sejarah kebangsaan Indonesia dan bahkan di Sekolah Dasar mencakup ilmu bumi.
Selanjutnya, dalam standar kompetensi kurikulum PKn 2004 diuraikan bahwa ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ditekankan pada bidang kajian Sistem Berbangsa dan Bernegara dengan aspek-aspeknya sebagai berikut.
Persatuan bangsa.
Nilai dan norma (agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum).
Hak asasi manusia.
Kebutuhan hidup warga negara.
Kekuasaan dan politik.
Masyarakat demokratis.
Pancasila dan konstitusi negara.
Globalisasi.
Menurut pandangan Suryadi dan Somardi (2000) sistem kehidupan bernegara (sebagai bidang kajian PKn) merupakan struktur dasar bagi pengembangan pendidikan kewarganegaraan. Konsep negara tersebut didekati dari sudut pandang sistem, di mana komponen-komponen dasar sistem tata kehidupan bernegara terdiri atas sistem personal, sistem kelembagaan, sistem normatif, sistem kewilayahan, dan sistem ideologis sebagai faktor integratif bagi seluruh komponen.
Dilihat dari struktur keilmuannya, Pendidikan Kewarganegaraan paradigma baru mencakup tiga dimensi keilmuan, yaitu dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan karakter atau watak kewarganegaraan (civic dispositions).
Sistem Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Permasalahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita adalah berkenaan dengan kualitas, kuantitas, dan relevansi. Berbicara kualitas pendidikan salah satu komponen yang perlu mendapatkan perhatian adalah masalah materi pelajaran yang ada dalam kurikulum, dengan tidak melupakan unsur guru, input/siswa, dan sarana prasarana pendidikan. Khusus yang berkaitan dengan kurikulum, dipandang perlu untuk memberikan berbagai upaya, terutama yang berkaitan dengan pembaharuan atau perubahan sehingga kurikulum yang berkembang dapat memenuhi harapan masyarakat.
Berkenaan dengan permasalahan materi pelajaran, Pendidikan Kewarganegaraan dalam kurikulum 2004 telah mengalami perubahan yang sangat besar, dari pengembangan materi dalam kurikulum sebelumnya. Dalam kurikulum 2004 pengembangan materi PKn, baik untuk jenjang SMP maupun SMA lebih bercirikan keilmuan. Hal ini tidak terlepas dari adanya karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan (PKn ) dengan paradigma baru, yaitu bahwa PKn merupakan suatu bidang kajian ilmiah dan program pendidikan di sekolah dan diterima sebagai wahana utama serta esensi pendidikan demokrasi di Indonesia yang dilaksanakan melalui Civic Intellegence, yaitu kecerdasan dan daya nalar warga negara baik dalam dimensi spiritual, rasional, emosional maupun sosial; Civic Responsibility, yaitu kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan Civic Participation, yaitu kemampuan berpartisipasi warga negara atas dasar tanggung jawabnya, baik secara individual, sosial maupun sebagai pemimpin hari depan.
Ruang lingkup pada bidang kajian dan aspek-aspeknya sebagai berikut persatuan bangsa; nilai dan norma (agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum); hak asasi manusia; kebutuhan hidup; kekuasaan dan politik; masyarakat demokratis; Pancasila dan konstitusi negara dan globalisasi.
Urutan Logis Materi PKn
Jika kemampuan dasar dan indikator dirumuskan dalam bentuk kata kerja maka standar materi dirumuskan dalam bentuk kata benda, atau kata kerja yang dibendakan. Selanjutnya, pokok-pokok materi tersebut perlu dirinci atau diuraikan kemudian diurutkan untuk memudahkan kegiatan pembelajaran. Setelah jenis dan cakupan materi ditentukan, langkah berikutnya adalah mengurutkan (squencing) materi tersebut sesuai dengan urutan mempelajarinya. Sama halnya dengan cara mengurutkan kemampuan dasar dan standar kompetensi, materi pelajaran dapat diurutkan dengan menggunakan pendekatan prosedural, hierarkis, dari sederhana ke sukar, dari konkret ke abstrak, spiral, tematis, dan terpadu.
Nilai, Moral, dan Norma dalam Materi PKn
Kompetensi penguasaan bahan ajar dalam PKn mencakup 3 aspek, yaitu memahami Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge), memahami Keterampilan Kewarganegaraan (Civic Skills), dan memahami Etika Kewarganegaraan (Civic Ethic). Modul ini ditujukan untuk mengembangkan kompetensi penguasaan bahan ajar, pada aspek kompetensi tentang pemahaman Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge) khusus pada subkompetensi pemahaman nilai, norma, dan moral.
Nilai merupakan sesuatu yang paling dasar, sesuatu yang bersifat hakiki, esensi, intisari atau makna yang terdalam. Nilai adalah sesuatu yang abstrak, yang berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal yang bersifat ideal. Norma berisi perintah atau larangan itu didasarkan pada suatu nilai, yang dihargai atau dijunjung tinggi karena dianggap baik, benar atau bermanfaat bagi umat manusia atau lingkungan masyarakat tertentu. Nilai merupakan sumber dari suatu norma. Norma merupakan aturan-aturan atau standar penuntun tingkah laku agar harapan-harapan itu menjadi kenyataan. Moral dalam pengertian sikap, tingkah laku, atau perbuatan yang baik yang dilakukan oleh seseorang adalah merupakan perwujudan dari suatu norma dan nilai yang dijunjung tinggi oleh orang tersebut. Dengan demikian secara hierarkis dapat dikemukakan bahwa nilai merupakan landasan dari norma, selanjutnya norma menjadi dasar penuntun dari moralitas manusia, yakni sikap dan perbuatan yang baik.
Metode dan Media Pendidikan Kewarganegaraan
Setelah Anda mencocokkan hasil diskusi dengan rambu-rambu kunci jawaban di atas, cermati dengan baik rangkuman materi Kegiatan Belajar 1 sebagai berikut.
Ciri utama PKn (baru) tidak lagi menekankan pada mengajar tentang PKn tetapi lebih berorientasi pada membelajarkan PKn atau pada upaya-upaya guru untuk ber-PKn atau melaksanakan PKn. Oleh karena itu, guru hendaknya memiliki kemampuan untuk memilih dan menggunakan metode pembelajaran PKn yang efektif, tepat, menarik, dan menyenangkan untuk membelajarkan PKn tersebut.
Istilah strategi pembelajaran lebih luas daripada metode pembelajaran karena strategi pembelajaran diartikan sebagai semua komponen materi, paket pembelajaran, dan prosedur yang digunakan untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Sedangkan metode lebih menunjuk kepada teknik atau cara mengajar. Dalam pembelajaran berbasis kompetensi, strategi (metode) pembelajaran yang akan digunakan guru dalam proses pembelajaran mesti dirumuskan terlebih dahulu dalam desain pembelajaran.
Penguasaan metode pembelajaran merupakan salah satu persyaratan utama yang harus dimiliki seorang guru. Kemampuan dalam menggunakan berbagai metode pembelajaran akan berpengaruh terhadap keberhasilan belajar siswa baik keberhasilan aspek kognitif maupun aspek afektif dan psikomotor. Ketidaktepatan memilih dan menggunakan metode pembelajaran akan mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut rambu-rambu pembelajaran PKn dalam Kurikulum 2004, ditegaskan bahwa pembelajaran dalam mata pelajaran Kewarganegaraan merupakan proses dan upaya membelajarkan dengan menggunakan pendekatan belajar kontekstual (CTL) untuk mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan, keterampilan, dan karakter warga negara Indonesia. Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Terdapat 7 komponen CTL, yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya.
Dalam PKn dikenal suatu model pembelajaran, yaitu model VCT (Value Clarification Technique/Teknik Pengungkapan Nilai), yaitu suatu teknik belajar-mengajar yang membina sikap atau nilai moral (aspek afektif). VCT dianggap cocok digunakan dalam pembelajaran PKn yang mengutamakan pembinaan aspek afektif. Pola pembelajaran VCT dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena pertama, mampu membina dan mempribadikan (personalisasi) nilai-moral. Kedua, mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan nilai-moral yang disampaikan. Ketiga, mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai-moral diri siswa dalam kehidupan nyata. Keempat, mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya. Kelima, mampu memberikan pengalaman belajar berbagai kehidupan. Keenam, mampu menangkal, meniadakan, mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai-moral naif yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang. Ketujuh, menuntun dan memotivasi hidup layak dan bermoral tinggi.
Alternatif Media Pembelajaran PKn
Perolehan pengetahuan dari pengalaman langsung dengan melihat, mendengar, mengecap, meraba serta menggunakan alat indra dapat dianggap permanen dan tidak mudah dilupakannya karena kata-kata yang mereka peroleh benar-benar mereka kenal yang diperolehnya melalui pengalaman yang konkret. Media pembelajaran adalah sarana yang membantu para pengajar. Ia bukan tujuan sehingga kaidah proses pembelajaran di kelas tetap berlaku.
Media pengajaran yang dirancang dengan baik dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses kegiatan pada diri siswa. Di samping itu, media dapat membawakan pesan atau informasi belajar dengan keandalan yang tinggi, yaitu dapat diulang tanpa mengalami perubahan isi.
Prinsip pengajaran yang baik adalah jika proses belajar mampu mengembangkan konsep, generalisasi, dan bahan abstrak dapat menjadi hal yang jelas dan nyata. Konsep media pembelajaran lebih luas daripada pengertian alat peraga, sebab alat peraga hanya merupakan sebagian dari media pembelajaran. Secara umum yang dapat dijadikan media pembelajaran, antara lain slide, proyektor, peta, globe, grafik, diagram, gambar, film, bagan, diorama, tape recorder, dan radio.
Edgar Dale (1969) mengemukakan jenis media yang terkenal dengan istilah kerucut pengalaman (the cone of experience), yaitu (1) pengalaman langsung; (2) pengalaman yang diatur; (3) dramatisasi; (4) demonstrasi; (5) karyawisata; (6) pameran; (7) gambar hidup; (8) rekaman, radio, dan gambar mati; (9) lambang visual; (10) lambang verbal.
Burton membagi media berdasarkan pengalaman langsung dan pengalaman tak langsung. Sedangkan Heinich mengklasifikasikan media menjadi dua kelompok, yaitu pertama, media yang tidak diproyeksikan, kedua, media yang diproyeksikan.
Terdapat beberapa persyaratan yang hendaknya diperhatikan dalam pengembangan media pengajaran Pendidikan Nilai dan Moral, yaitu (1) membawakan sesuatu/sejumlah isi-pesan harapan; (2) memuat nilai/moral kontras atau dilematis; (3) diambil dari dunia kehidupan nyata (siswa,lokal,nasional atau dunia); (4) menarik minat dan perhatian siswa atau melibatkan diri siswa; (5) oleh kemampuan belajar siswa.
Disarikan dari buku Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran PKn Karya Prof. Dr. H. Dasim Budimansyah, M.Si