Welcome Meet the Great Education and Art - Let Us Doing Good and Truth Degrees For Lifting People * Dipersembahkan oleh STRINGTONE project *

3/29/2012

Anotasi Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Multikultural

Oleh : Iwan Sukma Nuricht

Dibawah ini akan saya tuliskan beberapa anotasi-anotasi Bhibliografi yang berkaitan dengan Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Multikultural, antara lain :



Definitions of citizenship
W. Kymlicka, W. Norman
Return to the Citizen: A Survey of Recent Work on Citizenship Theory. In: R. Beiner (ed.) Teorizing Citizenship,
State University of New York Press, 1995, p.301.
"Citizenship is not just a certain status, defined by a set of rights and responsibilities. It is also an identity, an expression of one’s membership in a political community" (Kymlicka and Norman)
Komentar
"Kewarganegaraan bukan hanya satu status tertentu, yang digambarkan oleh satu kumpulan hak dan tanggung-jawab. Ini juga satu identitas, satu ungkapan dalam suatu keanggotaan masyarakat politis" ( Kymlicka dan Norman).
Definitions of citizenship
T. H. Marshall
Class, Citizenship and Social Development,
Chicago, University of Chicago Press, 1973.
"Citizenship is a status bestowed on all those who are full members of a community. All who possesses the status are equal with respect to the rights and duties with which the status is endowed. There are not universal principles that determine what those rights and duties shall be, but societies in which citizenship is a developing institution create an image of ideal citizenship against which achievement can be directed ... Citizenship requires a direct sense of community membership based on loyality to a civilisation which is a common possession. It is a loyality of free men endowed with rights and protected by a common law" (Marshall)
Komentar
"Kewarganegaraan adalah satu status yang dianugerahkan untuk semua pada mereka adalah anggota penuh dari satu masyarakat. Semua yang menguasai status adalah sama berkenaan dengan tugas dan hak dimana status diberikan. Tidak ada prinsip yang universal yang menentukan apa yang itu tugas dan hak yang menjadi keharusan, tetapi masyarakat di mana Kewarganegaraan adalah satu institusi yang mengembangkan, menciptakan satu gambaran dari Kewarganegaraan ideal dibanding dengan prestasi yang dapat diarahkan…. Kewarganegaraan memerlukan satu pengertian langsung dari keanggotaan masyarakat yang didasarkan pada kesetiaan untuk satu peradaban adalah pemilihan umum. Ini merupakan suatu kesetiaan manusia yang hanya diwarisi dengan hak dan dilindungi oleh hukum" ( Marshall).

3/28/2012

Analisis tentang “Citizenship education continuum” MINIMAL dan MAKSIMAL. “Citizenship education” pada titik Minimal ditandai oleh: “thin, exclusive, elitist, civics education, formal, content led, knowledge-based, didactic transmission, easier to achieve and measure in practice.

Oleh : Iwan Sukma Nuricht

Sumber Buku : Prof. Dr .Dasim Budimansyah, Msi, 2012. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Perspektif Internasional (Konteks, Teori dan dan Profil Pembelajaran). Bandung, Widya Aksara Press

Berdasarkan laporan hasil penemuan Kerr (1999:5-7) diperoleh deskripsi tentang jati diri "citizenship education", yang ternyata dipengaruhi oleh faktor-faktor: "historical tradition, geographical position, socio-political structure, economic system, and global trends". Studi itu juga mengidentifikasi adanya suatu "Citizenship education continuum" MINIMAL dan MAKSIMAL. "Citizenship education" pada titik Minimal ditandai oleh: "thin, exclusive, elitist, civics education, formal, content led, knowledge-based, didactic transmision, easier to achieve and measure in practice. Maksudnya adalah didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, hasilnya mudah diukur. Sedangkan yang bersifat Maksimal ditandai oleh : "thick, inclusive, activist, citizenship education, participative, process-led, values-based, interactive interpretation, nterpretation, more difficult to achieve and measure in practice". Maksudnya adalah didefinisikan secara luas, mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsur masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, diberi label "citizenship education", menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun di luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleksnya hasil belajar. Sejalan dengan konseptualisasi dalam bentuk kontinum tersebut, dari studi itu dikonseptualisasikan tiga pendekatan "citizenship education" (Kerr,1999:15-16) yakni (1) "Education About citizenship" yang memusatkan perhatian pada: "...providing students with sufficient knowledge and understanding of national history and the structures and processes of government and political life"; (2) Education Through citizenship" yang menitikberatkan pada prinsip: "...involves student learning by doing, through active, participative experiences in the school or in local community and beyond. Proses belajar seperti itu diyakini memiliki potensi untuk "... reinforces the knowledge component"; dan (3) Education For citizenship yang mencakup kedua pendekatan (1 dan 2) yang menitikberatkan pada proses "...equiping students with a set of tools (knowledge and understanding, skills and attitudes, values and dispositions) which enable them to participate actively and sensibly in the roles and responsibilities they encounter in their adult lives. Pendekatan ini mengaitkan "citizenship education" dengan "the whole education experience of students".
Berdasarkan kerangka pemikiran yang diungkapkan oleh David Kerr tersebut diatas, maka kita dapat menganalisa pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dengan berdasar pada kerangka tersebut.
Secara normatif, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki posisi yang strategis, akan tetapi melalui pendekatan separate dengan sifat dan kedudukan wajib sebagai bagian dari program inti justru telah menempatkan Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia dalam kontinum minimal dengan karakteristik yang meliputi:
Ø didefinisikan secara sempit;
Ø hanya mewadahi aspirasi tertentu;
Ø berbentuk pengajaran kewarganegaraan (civic education);
Ø bersifat formal;
Ø terikat oleh isi;
Ø berorientasi pada pengetahuan;
Ø menitikberatkan pada proses pengajaran, dimana PKn lebih cenderung hanya dibelajarkan di kelas saja; serta
Ø hasilnya mudah diukur
Artinya PKn hanya mempersiapkan peserta didik untuk mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai sejarah nasional, struktur dan proses pemerintahan serta kehidupan politik. Dengan kata lain, PKn di Indonesia baru sebatas civic education saja belum menjelama sebagai citizenship education. PKn di Indonesia baru bisa dipahami sebatas sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah, yang belum merupakan program pendidikan di masyarakat pada umumnya (citizenship education). Akibatnya sering terjadi disinkronisasi antara apa yang dibelajarkan di sekolah dengan kenyataan di masyarakat. Misalnya, ketika di sekolah siswa dituntut untuk mematuhi norma-norma yang berlaku, tetapi ketika siswa berada di masyarakat, siswa menemukan berbagai pelanggaran norma yang dilakukan oleh anggota masyarakat lainnya. hal tersebut tentu akan menghambat proses penanaman nilai-nilai kewarganegaraan dalam diri siswa.

Analisis Komperatif Teori Perkembangan Moral Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg


Analisis Komperatif Teori Perkembangan Moral Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg
Oleh : Iwan Sukma Nuricht

·         Teori Jean Piaget
Piaget melandaskan teorinya pada hasil penelitian yang ia lakukan mengenai struktur kognitif dan kajian moral anak selama 40 tahun. Penelitiannya itu didasarkan pada sikap verbal anak (children verbal attitudes) terhadap berbagai aturan permainan, perilaku sehari-hari, mencuri, dan membohong. Selain itu, penelitiannya tersebut  bertolak dari postulat atau asumsi dasar bahwa "moralitas berada dalam suatu sistem aturan, oleh karena itu hakikat moralitas seyogyanya dilihat dari sudut bagaimana individu menyadari kebutuhannya akan aturan itu". Untuk itu ia meneliti bagaimana anak menyadari adanya aturan dan bagaimana ia menerapkan aturan itu dalam suatu permainan.
Dari hasil studinya itu ia mengidentifikasi bahwa ada dua tingkat perkembangan moral pada anak usia antara 6- 12 tahun yakni:
(1)      Tingkatan heteronomi. Pada tingkatan heteronomi, segala aturan oleh anak dipandang sebagai hal yang datang dari luar jadi bersifat eksternal dan dianggap sakral karena aturan itu merupakan hasil pemikiran orang dewasa. Sifat heteronomi anak disebabkan oleh faktor kematangan struktur kognitif yang ditandai sifat egosentrisme dan hubungan interaktif dengan orang dewasa dimana anak merasa kurang berkuasa dibanding orang dewasa.
(2)      Tingkatan autonomi. Pada tingkatan autonomi anak mulai menyadari adanya kebebasan untuk tidak sepenuhnva menerima aturan itu sebagai hal yang datang dari luar dirinya. Pada tingkatan ini anak menunjukkan kemampuan untuk mengkritisi aturan dan memilih aturan yang tepat atas dasar kesepakatan dan kerjasama dengan lingkungannya. Sifat autonomi dipengaruhi oleh kematangan struktur kognitif yang ditandai oleh kemampuan mengkaji aturan secara kritis dan menerapkannya secara selektif yang muncul dari sikap resiprositas dan kerjasama.
Secara teoretik nilai moral berkembang secara psikologis dalam diri individu mengikuti perkembangan usia dan konteks sosial. Dalam kaitannya dengan usia, Piaget (dalam Winataputra dan Budimansyah, 2007:172-173; Makmun, 2001:102-103) merumuskan perkembangan kesadaran dan pelaksanaan aturan sebagai berikut:
Tahapan pada domain Kesadaran mengenai Aturan:
-       Usia 0-2 tahun: Aturan dirasakan sebagai hal yang tidak bersifat memaksa;
-       Usia 2-8 tahun: Aturan disikapi bersifat sakral dan diterima tanpa pemikiran;
-       Usia 8-12 tahun : Aturan diterima sebagai hasil kesepakatan.
Tahapan pada domain Pelaksanaan Aturan:
-       Usia 0-2 tahun : Aturan dilakukan hanya bersifat motorik saja;
-       Usia 2-6 tahun :Aturan dilakukan dengan orientasi diri sendiri;
-       Usia 6-10 tahun: Aturan dilakukan sesuai kesepakatan;
-       Usia 10-12 tahun:Aturan dilakukan karena sudah dihimpun.
Bertolak dari teorinya itu Piaget menyimpulkan bahwa pendidikan sekolah seyogyanya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil keputusan (decision making skills) dan memecahkan masalah (problem solving) dan membina perkembangan moral dengan cara menuntut para peserta didik untuk mengembangkan aturan berdasarkan keadilan/kepatutan (fairness). Dengan kata lain pendidikan nilai berdasarkan teori Piaget adalah pendidikan nilai moral atau nilai etis yang dikembangkan berdasarkan pendekatan psikologi perkembangan moral kognitif. Disitulah pendidikan nilai dititikberatkan pada pengembangan perilaku moral yang dilandasi oleh penalaran moral yang dicapai dalam konteks kehidupan masyarakat.
·         Teori Lawrence Kohlberg
Selama 18 tahun Lawrence Kohlberg mengadakan penelitian mengenai perkembangan moral yang berlandaskan pada teori perkembangan kognitif Piaget. Kohlberg mengajukan postulat atau anggapan dasar bahwa anak membangun cara berpikir mereka melalui pengalaman termasuk pengertian konsep moral seperti keadilan, hak, persamaan, dan kesejahteraan manusia. Penelitian yang dilakukannya memusatkan perhatian pada kelompok usia di atas usia yang diteliti oleh Piaget. Dari penelitiannya itu Kohlberg merumuskan adanya tiga tingkat (level) yang terdiri atas enam tahap (stage) perkembangan moral berikut:

TINGKAT I : PRA-KONVENSIONAL (PRECONVENTIONAL)
Tahap 1
Orientasi hukuman dan kepatuhan (Apapun yang mendapat pujian atau dihadiahi adalah baik, dan apapun yang dikenai hukuman adalah buruk).
Tahap 2
Orientasi instrumental nisbi (Berbuat baik apabila orang lain, berbuat baik padanya, dan yang baik itu adalah bila satu sama lain berbuat hal yang sama).
TINGKAT II KONVENSIONAL (CONVENTIONAL)
Tahap 3
Orientasi kesepakatan timbal balik (Sesuatu dipandang baik untuk memenuhi anggapan orang lain atau baik karena disepakati)
Tahap 4
Orientasi hukum dan ketertiban (Sesuatu yang baik itu adalah yang diatur oleh hukum dalam masyarakat dan dikerjakan sebagai pemenuhan kewajiban sesuai dengan norma hukum tersebut).
TINGKAT III PASCA-KONVENSIONAL (POSTCONVENTIONAL)
Tahap 5
Orientasi kontrak sosial legalistik (Sesuatu dianggap baik bila sesuai dengan kesepakatan umum dan diterima oleh masyarakat sebagai kebenaran konsensual).
Tahap 6
Orientasi prinsip etika universal (Sesuatu dianggap baik bila telah menjadi prinsip etika yang bersifat universal dari mana norma dan aturan ditawarkan).

Dalam teorinya tersebut Kohlberg menolak konsepsi pendidikan nilai/karakter tradisional yang berpijak pada pemikiran bahwa ada seperangkat kebajikan/keadaban (bag of virtues) seperti kejujuran, budi baik, kesabaran, ketegaran yang menjadi landasan perilaku moral. Oleh karena itu ditegaskannya bahwa tugas guru adalah membelajarkan kebajikan itu melalui percontohan dan komunikasi langsung keyakinan serta memfasilitasi peserta didik untuk melaksanakan kebajikan itu dengan memberinya penguatan. Konsepsi dan pendekatan tradisional pendidikan nilai ini dinilai tidak memberi prinsip yang memandu untuk mendefinisikan kebajikan mana yang sungguh berharga untuk diikuti. Dalam kenyataannya para guru pada akhirnya berujung pada proses penanaman nilai yang tergantung pada kepercayaan sosial, kultural dan personal. Untuk mengatasi hal tersebut Kohlberg mengajukan pendekatan pendidikan nilai dengan menggunakan pendekatan klarifikasi nilai (value clarification approach) yang bertolak dari asumsi bahwa tidak ada jawaban benar satu-satunya terhadap suatu dilema moral tetapi di situ ada nilai yang dipegang sebagai dasar berpikir dan berbuat. 

Sumber Buku: 
Prof. Dr .Dasim Budimansyah, Msi, 2012. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Perspektif Internasional (Konteks, Teori dan dan Profil Pembelajaran). Bandung, Widya Aksara Press

3/06/2012

PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN (PENDIDIKAN DEMOKRASI) DI INDONESIA

PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN (PENDIDIKAN DEMOKRASI) DI INDONESIA


PENDAHULUAN

Menurut Malik Fadjar dan pendidikan kewarganegaraan (civic education)  saat ini menyoroti khusus soal demokrasi dan hak asasi. Penyajiannya pun tidak berbentuk indoktrinasi.”Melalui forum diharapkan tersaji format pendidikan kewarganegaraan yang baik,” ujarnya. Mendiknas menyebutkan, kesiapan masyarakat harus dimulai, dan terutama dari kalangan akademisi yang diharapkan bisa turut terlibat memberi masukan.
Dalam pandangannya, ”mind-set” masyarakat Indonesia harus diubah dari yang semula menganut budaya minta petunjuk dan minta penjelasan. Meskipun, diakuinya, perubahan mind-set tersebut tidak bisa dalam waktu sebentar. ”Butuh lima sampai 10 tahun lagi, baru bisa mengubah mind-set kerangka budaya bangsa Indonesia,” ujarnya.
Dipaparkan Mendiknas, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, civic education mulai berkembang. Lalu memasuki era Orde Baru memasuki era seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).”Suka atau tidak suka, selama 30 tahun itu berhasil terbentuk manusia Indonesia. Selama masa itu, suasananya memang monolitik dan uniform,” katanya.
Dalam era reformasi sekarang, sasarannya terbentuk masyarakat madani (civil society), serta menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka. ”Pancasila itu merupakan komitmen, kontrak politik. Sehingga, jangan diperas lagi seperti waktu lalu ada Trisila dan Ekasila,” jelasnya.
Mendiknas berpendapat, kelemahan bangsa Indonesia adalah dalam hal ”maintenance and inovative learning”. ”Ini kelemahan kita, tidak perlu khawatir kalau ada perbedaan, asalkan tetap memegang prinsip dasar,” katanya seraya mencontohkan, komitmen yang terkandung dalam Mukadimah UUD 1945.
Senada dengan Malik Fadjar, pengamat politik UI, Maswadi Rauf menilai, dalam soal pendidikan kewarganegaraan ini, pemerintah sebaiknya hanya memberi guideline (garis besar), sedangkan mengenai isi pendidikan kewarganegaraan tersebut diserahkan kepada masyarakat (swasta).
Dalam penilaiannya, pendidikan kewarganegaraan selama ini telah diselewengkan, diangap sebagai alat penguasa untuk penanaman nilai-nilai yang dianut penguasa.
”Ini tentunya harus ditinggalkan, seiring pemberlakuan otonomi daerah dan otonomi kampus,” katanya. Tujuan pentingnya dalam terbentuknya warga negara yang baik, namun selama ini belum dihayati benar.
Maswadi menegaskan, untuk soal ini jangan ditekankan pada kurikulum pendidikan, maksudnya guna menghindari kemungkinan indoktrinasi terselubung. Caranya, melalui kebebasan pers dan pelaksanaan diskursus publik.
”Kalau soal pendidikan kewarganegaraan ini diserahkan pada masyarakat memang akan terlalu bebas, akan terjadi berbagai pandangan. Karenanya, perlu wacana publik berupa public discourse itu,” jelasnya.
Penanaman nilainya melalui pendidikan kewarganegaraan, jelasnya, antara lain berupa sikap toleran, sikap patuh pada hukum, dan menyadari hak dan kewajiban. ”Intinya terjadi penanaman budaya demokrasi di masyarakat, dan tentunya ini lebih luas dibandingkan hanya di sekolah,” ujarnya. Selain Depdiknas, ujar Maswadi, Kantor Menteri Negara Informasi dan Komunikasi (Inkom) mempunyai peranan besar dalam peningkatan pendidikan kewarganegaraan

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Menyadari betapa pentingnya pendidikan demokrasi dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, Center for Indonesian Civic Education (CICED) bekerjasama dengan USIS Jakarta, Balitbang Dikbud, dan IKIP Bandung pada tanggal 16-17 Maret 1999, telah mengadakan “Conference on Civic Education for Civil Society” dengan mengambil tema “Democratic Citizens in a Civil Society: Building Rationales for the 21st Century’s Civic Education”. Khusus mengenai konsep dan strategi pendidikan demokrasi dirumuskan kesimpulan bahwa secara konseptual pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis diterima sebagai dasar pertimbangan utama bagi pendidikan di Indonesia. Ikhtiar kependidikan ini pada dasarnya harus ditujukan untuk mengembangan kecerdasan spiritual, rasional, emosional, dan sosial warganegara baik sebagai aktor sosial maupun sebagai pemimpin/khalifah pada hari ini dan hari esok. Sedangkan rumusan mengenai karakter utama warganegara yang cerdas dan baik adalah bahwa warganegara Indonesia yang cerdas dan baik itu adalah mereka yang secara ajek memelihara dan mengembangkan cita-cita dan nilai demokrasi sesuai perkembangan jaman, dan secara efektif dan langgeng menangani dan mengelola krisis yang selalu muncul untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia sebagai bagian integral dari masyarakat global yang damai dan sejahtera.
Dari kedua konsep dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa paradigma pendidikan demokrasi yang digagaskan adalah pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional atau multidimensional citizenship education (Cogan, 1998). Sifat multidimensionalitasnya itu terletak dalam asumsi positif dan programatiknya yang menyangkut individu, negara, dan masyarakat global; tujuannya yang diarahkan pada semua dimensi kecerdasan (spiritual, rasional, emosional, dan sosial); latarnya (setting) yang mencakup seluruh jalur dan jenjang pendidikan; dan pengalaman belajarnya yang terbuka, fleksibel, dan bervariasi merujuk kepada dimensi tujuannya. Paradigma ini berbeda dengan paradigma pendidikan demokrasi yang pernah ada pada saat ini yang didasarkan pada asumsi normatif kepentingan politik, tujuan yang kenyataannya monodimensional dan atomistik, tidak ada interaksi antarlatar pendidikan (setting), dan pengalaman belajar yang serba terbatas antara lain bersifat test-driven atau hanya digiring untuk lulus tes dan bukan untuk mampu hidup yang demokratis di masyarakat.
Bila ditampilkan dalam wujud program pendidikan, paradigma baru ini menuntut hal-hal sebagai berikut (Gandal dan Finn, 1992; Bahmuller, 1996; Winataputra; 1999): Pertama, memberikan perhatian yang cermat dan usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian tentang hakikat dan karakteristik aneka ragam demokrasi, bukan hanya yang berkembang di Indonesia. Kedua, mengembangkan kurikulum atau paket pendidikan yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi bagaimana cita-cita demokrasi telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan dan praktek di berbagai belahan bumi dan dalam berbagai kurun waktu. Ketiga, tersedianya sumber belajar yang memungkinkan siswa mampu mengeksplorasi sejarah demokrasi di negaranya untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya itu secara jernih. Keempat, tersedianya sumber belajar yang dapat memfasilitasi siswa untuk memahami penerapan demokrasi di negara lain sehingga mereka memiliki wawasan yang luas tentang ragam ide dan sistem demokrasi dalam berbagai konteks. Kelima, dikembangkannya kelas sebagai democratic laboratory, lingkungan sekolah/kampus sebagai micro cosmos of democracy, dan masyarakat luas sebagai open global classroom yang memungkinkan siswa dapat belajar demokrasi dalam situasi berdemokrasi, dan untuk tujuan melatih diri sebagai warganegara yang demokratis atau learning democracy, in democracy, and for democracy.

METODOLOGI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN (PENDIDIKAN DEMOKRASI)
Secara tradisional, khususnya di Indonesia, baik dalam rangka mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) atau sebelumnya Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun dalam rangka Penataran P-4, demokrasi terkesan lebih banyak diajarkan atau
tought dan bukan dipelajari atau learned dengan peran guru/dosen/penatar/manggala yang lebih dominan. Karena itu situasi kelasnya pun, dengan meminjam istilah Flanders (1972) lebih bersifat dominative dan bukan integrative. Dampak instruksional dan pengiringnya pun tentu tak bisa dielakkan lagi lebih bersifat pengetahuan atau knowledge oriented. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa bangsa Indonesia dalam berbagai lapisan sosial terkesan belum bisa menjalankan cita-cita, nilai, dan prinsip demokrasi (Asia Foundation, 1998).
Keadaan itulah yang ingin diatasi melalui upaya dikembangkannya paradigma baru pendidikan kewarganegaraan yang urgensinya tampak begitu kuat, sebagaimana ditemukan dalam National Survey: Needs-Assessment for New Indonesian Civic Education (CICED, 1999).
Sebagaimana dirumuskan sebelumnya, paradigma baru pendidikan kewarganegaraan, yang nota bene tercakup pendidikan demokrasi dan HAM didalamnya, secara metodologis menuntut perbaikan dalam ketiga dimensinya, yakni dalam curriculum content and instructional strategies; civic education classroom; and learning environment (CICED, 1999a). Pertama, diyakini bahwa isi kurikulum dan strategi pembelajarannya ditekankan bahwa “…for all levels of schools should be carefully selected and dynamically organized integratedly upon the bases of democratic ideals, values, norms, and moral; psychologically relevant to individual development, contextually relevant to various learning environment, and scientifically sound” (CICED, 1999a). Implikasi dari semua prinsip tersebut adalah bahwa kurikulum dan strategi pembelajaran pendidikan demokrasi seyogyanya dikembangkan secara sistemik (lintas jenjang, jalur, dan bidang), dengan konsep dasar demokrasi yang komprehensif (utuh dan lengkap), dan dengan organisasi kurikulum yang berdiversifikasi merujuk kepada life cycle anak (perkembangan kognitif, afektif, sosial-moral, dan skill); serta lingkungan belajar setempat (desa, kota). Dengan kata lain, kurikulum pendidikan demokrasi seyogyanya mengandung aspek ideal yang bersifat nasional, aspek instrumental yang bercorak ragam, dan aspek praksis yang adaptif terhadap lingkungan setempat. Oleh karena itu dalam pengembangan kurikulum dan strategi pembelajaran pendidikan demokrasi dan HAM, seyogyanya melibatkan para ahli dan praktisi pendidikan kewarganegaraan; para ahli dan praktisi disiplin sosial terkait seperti: politik, hukum, sejarah, sosiologi, antropologi, geografi; dan wakil birokrat pemerintahan daerah dan tokoh masyarakat setempat dan LSM terkait. Isi inti kurikulum seyogyanya mengandung muatan nasional, muatan regional, dan muatan lokal.
Yang perlu dijadikan muatan nasional adalah pilar-pilar demokrasi konstitusional Indonesia yakni cita-cita, nilai, dan prinsip demokrasi Indonesia yang: berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan jaminan hak asasi manusia, berdasarkan kedaulatan rakyat, bertujuan mencerdaskan bangsa, menerapkan prinsip pembagian kekuasaan negara, mengembangkan otonomi daerah, menegakkan rule of law, mengembangkan sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak, mengutamakan kesejahteraan rakyat, dan melaksanakan prinsip keadilan sosial (UUD 1945; Sanusi, 1998; CICED, 1999). Pilar-pilar itu dapat pula dibandingkan dengan, dan jika perlu diadaptasi seperlunya sokoguru demokrasi yang dianggap bersifat universal ala demokrasi liberal Amerika (USIS, 1991) yang mencakup: “kedaulatan rakyat; pemerintahan yang berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; kekuasaan mayoritas; hak-hak minoritas; jaminan hak asasi manusia; pemilihan yang bebas dan jujur; persamaan di depan hukum; proses hukum yang wajar; pembatasan pemerintahan secara konstitusional; pluralisme sosial, ekonomi dan politik; dan nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama, dan mufakat”. Perbedaan yang mendasar dari sokoguru demokrasi tersebut, adalah bahwa dalam pilar demokrasi konstitusional Indonesia secara eksplisit mendasarkan pada nilai-nilai dan prinsip yang dikandung oleh “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kedua, kelas pendidikan kewarganegaraan seyogyanya dilihat dan diperlakukan, artinya dikembangkan sebagai “…laboratory for democracy where the spirit of citizenship and humanity emanating from the ideals and values of democracy are put into the actual practice by learners and teachers as well. In such a classroom learners and teachers should collaboratively develop and share democratic climate where decision making process is acquired and learned” (CICED, 1999a). Profil konseptual kelas pendidikan kewarganegaraan yang digagaskan di atas, harus dikembangkan untuk menggantikan kelas pendidikan kewarganegaraan/pendidikan demokrasi saat ini yang bersifat lebih dominatif dan indoktrinatif. Yang perlu digarisbawahi di situ adalah perwujudan semangat kewarganegaraan dan kemanusiaan, yakni civic virtue yang menjadi inti nilai demokrasi, dalam prilaku interaktif guru-siswa dan siswa-siswa, dan penciptaan iklim demokratis dalam rangka pengambilan keputusan. Untuk itu maka proses pembelajaran pendidikan demokrasi perlu dikembangkan dengan menerapkan pendekatan belajar yang bersifat memberdayakan siswa. Dengan demikian kelas pendidikan demokrasi akan berubah dari yang selama ini bersifat dominatif menjadi integratif.
Pendekatan pembelajaran yang disarankan untuk dikembangkan adalah yang berorientasi pada proses berpikir kritis dan pemecahan masalah. Salah satu model pembelajaran yang kini secara internasional diterapkan secara adaptif adalah model “We the People…Project Citizen” (CCE, 1992-2000). Model ini dikenal sebagai A portfolio-based civic education project yang dirancang untuk mempraktekkan salah satu hak warganegara, yakni the right to try to influence the decision people in his/her government make about all of those problems (CCE, 1998), dengan cara melibatkan siswa melalui suatu “proyek belajar” yang secara prosedural menerapkan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Identify a problem to study;
  2. Gather Information;
  3. Examine Solutions;
  4. Develop students’ own public policy; and
  5. Develop an Action Plan.
Seluruh kegiatan siswa dengan langkah-langkah tersebut diakhiri dengan penyajian hasil proyek dalam bentuk Portfolio di hadapan para pejabat publik terkait untuk mendapat tanggapan, dan bila perlu dijadikan masukan bagi pembuatan kebijakan publik di daerahnya. Hasilnya ternyata bukan saja siswa menjadi lebih peka dan tanggap terhadap masalah kebijakan publik tetapi lebih jauh, di banyak negara seperti di beberapa negara bagian di USA, beberapa kota di Italia, Bosnia, Rusia, Nigeria, Mongolia, Croatia, Polandia, Ceko, Ukraina, Macedonia, Mesir, Turki, Irlandia, Canada, Slovenia, Rumania, Jerman, Philippina, Kazkastan, dan beberapa negara emerging democracies lainnya (CIVITAS, 2000), temuan proyek siswa itu benar-benar diadopsi oleh pemerintah setempat sebagai bagian dari kebijakan publik di daerahnya.
Dengan demikian para guru dan siswa dapat melakukan refleksi betapa bermanfaatnya nilai dan prinsip demokrasi diterapkan dalam kehidupan di sekolah yang diintegrasikan dengan kehidupan di dalam masyarakatnya. Di situlah kelas pendidikan demokrasi benar-benar dikembangkan sebagai laboratorium demokrasi yang tidak dibatasi oleh empat dinding ruangan kelas. Untuk Indonesia, model tersebut telah diadaptasi menjadi model “Proyek Kewarganegaraan…Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI) yang kini sedang diujicobakan oleh CICED bekerjasama dengan Kanwil Depdiknas Jawa Barat dan Pusbangkurrandik. Uji coba dilakukan di enam SLTP Negeri di sekitar Bandung, Jawa Barat, yang akan berlangsung selama satu caturwulan mulai bulan Agustus sampai dengan Nopember 2000.
Ketiga, pada saat bersamaan lingkungan masyarakat sekolah dan masyarakat yang lebih luas seyogyanya juga dikondisikan untuk menjadi spiral global classroom (CICED, 1999a). Dengan demikian kesenjangan yang melahirkan kontroversi atau paradoksal antara yang dipelajari di sekolah dengan yang sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan masyarakat secara sistimatis dapat diminimumkan. Hal inilah yang ingin dijembatani oleh model “We the People…Project Citizen” atau “Proyek Kewarganegaraan… Kami Bangsa Indonesia”.
Jika ketiga unsur baru dalam paradigma pendidikan kewarganegaraan itu mulai dicoba penerapannya di Indonesia, diperkirakan pendidikan demokrasi yang diprogramkan dalam wadah pendidikan kewarganegaraan secara perlahan akan meningkat lebih menantang, lebih efektif, dan lebih bermanfaat bagi pengembangan demokrasi dalam dan melalui pendidikan. Tentu saja hal ini menuntut perubahan cara berpikir, terutama dari para pengambil keputusan pendidikan di pusat dan di daerah, para pengembang kurikulum, para penulis buku, para administrator pendidikan, para guru, para pejabat daerah dalam menyikapi dan memprogramkan pendidikan demokrasi dan HAM sebagai bagian integral dari pendidikan kewarganegaraan dan proses demokratisasi secara keseluruhan.

KESIMPULAN

Bila ditampilkan dalam wujud program pendidikan, paradigma baru ini menuntut hal-hal sebagai berikut (Gandal dan Finn, 1992; Bahmuller, 1996; Winataputra; 1999): Pertama, memberikan perhatian yang cermat dan usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian tentang hakikat dan karakteristik aneka ragam demokrasi, bukan hanya yang berkembang di Indonesia. Kedua, mengembangkan kurikulum atau paket pendidikan yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi bagaimana cita-cita demokrasi telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan dan praktek di berbagai belahan bumi dan dalam berbagai kurun waktu. Ketiga, tersedianya sumber belajar yang memungkinkan siswa mampu mengeksplorasi sejarah demokrasi di negaranya untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya itu secara jernih. Keempat, tersedianya sumber belajar yang dapat memfasilitasi siswa untuk memahami penerapan demokrasi di negara lain sehingga mereka memiliki wawasan yang luas tentang ragam ide dan sistem demokrasi dalam berbagai konteks. Kelima, dikembangkannya kelas sebagai democratic laboratory, lingkungan sekolah/kampus sebagai micro cosmos of democracy, dan masyarakat luas sebagai open global classroom yang memungkinkan siswa dapat belajar demokrasi dalam situasi berdemokrasi, dan untuk tujuan melatih diri sebagai warganegara yang demokratis atau learning democracy, in democracy, and for democracy.
Pendekatan dan metodologi pembelajaran yang disarankan untuk dikembangkan adalah yang berorientasi pada proses berpikir kritis dan pemecahan masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Center for Indonesian Civic Education (CICED). 2000c. Panduan “Proyek Kewarganegaraan…Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI), Bandung.
Gandal, J.E. dan Finn,E.S. 1992. Education for Democracy, Calabasas: CCE.
Wahab, A.A. 1999. Pengembangan Konsep dan Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Baru Indonesia bagi Terbinanya Warganegara Multidimensional Indonesia, Bandung: CICED.

Sumber dari: 
http://elearningpendidikan.com/paradigma-pendidikan-kewarganegaran-pendidikan-demokrasi-di-indonesia.html
akses tanggal, 18 Februari 2012