Welcome Meet the Great Education and Art - Let Us Doing Good and Truth Degrees For Lifting People * Dipersembahkan oleh STRINGTONE project *

2/24/2012

Birokrasi Pemerintahan


    1.  Organisasi rasional (rational organization)
    2. Ketidakefisienan organisasi (organizational inefficiency)
    3. Pemerintahan oleh para pejabat (rule by official)
    4. Administrasi negara (public administration)
    5. Administrasi oleh para pejabat (administration by official)
    6. Bentuk organisasi dengan ciri-ciri dan kualitas tertentu seperti
      hirarki serta peraturan-peraturan.
    7. Suatu ciri masyarakat modern yang mutlak (an essential quality
      of modern society).
    1. Jabatan administratif yang terorganisasi/tersusun secara hirarkies
      (Administratice offices are organized hierarchically).
    2. Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri (Each
      office has its own area of competence).
    3. Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada
      kualifikasi teknik yang ditunjukan dengan ijasah atau ujian (Civil
      cervants are appointed, not electe, on the basis of technical
      qualifications as determined by diplomas or examination).
    4. Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau
      kedudukannya (Civil servants receive fixed salaries according
      to rank).
    5. Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya,
      pekerjaannya sebagai pegawai negeri (The job is a career and
      the sole, or at least primary, employment of the civil servant).
    6. Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri (The official does not
      own his or her office).
    7. Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan
      (the official is subject to control and dicipline).
    8. Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang
      melebihi rata-rata (Promotion is based on superiors judgement).
    1. Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian
      wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi (a hierarcical structure involving delegation of authority from the top to the bottom of an organization).
    2. Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang mempunyai tugas
      dan tanggung jawab yang tegas (a series of official position offices, each having prescribed duties and responsibility).
    3. Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal
      yang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku para
      anggotanya (formal rules, regulations and standar governing operation of the organization and behavior of its members).
    4. Adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang
      dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan
      pada kualifikasi dan penampilan (technically qualified personel employed an a career basis, with promotion based on qualification and performance).
  1. Birokrasi Pemerintahan
    Birokrasi dalam literatur ilmu administrasi, sering dipergunakan dalam
    beberapa pengertian. Sekurang-kurangnya terdapat tujuh pengertian
    yang terkandung dalam istilah birokrasi, yaitu:
    Birokrasi adalah keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan
    tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di
    bawah lembaga departemen dan lembaga non departemen, baik di
    tingkat pusat maupun daerah, seperti propinsi, kabupaten dan
    kecamatan, bahkan pada tingkat kelurahan atau desa.
    Adanya dua mitos dalam sistem politik Barat tentang birokrasi. Yang
    Pertama menganggap birokrasi sebagai sumber keburukan. Harold
    J. Laski dalam dalam Encyclopedia of the Social Science
    menggambarkan birokrasi sebagai penyebar rutin dalam administrasi,
    mengorbankan fleksibilitas demi peraturan yang kaku, mengulurulur
    proses pembuatan keputusan dan menolak eksperimen. Mithos
    kedua menganggap birokrasi menjalankan peranan pahlawan. Max
    Weber merupakan pendukung terkemuka pandangan ini. Ia
    menyatakan bahwa birokrasi mampu mencapai tingkat efisiensi yang
    paling tinggi dan bentuk administrasi yang paling rasional karena
    birokrasi merupakan pelaksana pengendalian melalui pengetahuan.
    Karakteristik Birokrasi menurut Weber:
    Birokrasi sebagai organisasi dengan ciri-ciri khusus, menjadi pusat
    perhatian para ahli berbagai disiplin ilmu sosial karena jasa Max Weber.
    Dalam karyanya The Theory of Economy and Social
    Organization, Weber mengemukakan konsepnya tentang the ideal
    type of bureaucracy dengan merumuskan ciri-ciri pokok organisasi
    birokrasi yang lebih sesuai dengan masyarakat modern, yaitu:
    Peranan birokrasi secara umum dikemukakan oleh Michael G. Roskin
    dan kawan-kawan mempunyai fungsi yang meliputi kegiatan-kegiatan
    pengadministrasian, pelayanan, peraturan, perizinan, pengumpulan
    informasi, dan urusan rumah tangga. Seluruh birokrat pemerintahan
    menjalankan setidaknya dua dari fungsi dasar tersebut, dengan sebagian
    bekerja secara khusus pada biro tertentu dan sebagian lagi menjalankan
    fungsi ganda.
    Selama masa Orde Baru masalah-masalah yang dialami oleh birokrasi
    di Indonesia antara lain:
    • Birokrasi di Indonesia lebih banyak mengatur daripada memberikan
      pelayanan kepada publik. Karena masih banyak bersikap mengatur,
      akibatnya kemitraan (parthnership) atau proses kolaborasi antara
      birokrasi dan masyarakat masih dirasakan belum akrab. Sesuai
      dengan ramalan Warren Bennis, maka proses kolaborasi itu
      merupakan ciri yang menonjol dari birokrasi masa depan.
    • Birokrasi Indonesia dewasa ini masih terperangkap pada jaringan
      Parkinsonisme.
    • Masalah ketiga adalah masih menonjolnya ego sektoral bagi masingmasing
      birokrasi departemen.
    • Pelaksanaan tiga asas pemerintahan yakni desentralisasi,
      dekonsentrasi dan medebewind dalam birokrasi pemerintahan kita
      belum profesional. Pada intinya sistem pemerintahan ini mengikuti
      sistem desentralisasi. Akan tetapi pelaksanaannya lebih didominasi
      oleh pelaksanaan asas dekonsentrasi.
    • Birokrasi saat orde baru menempatkan pengembangan karir jabatan
      pegawai pemerintah lebih ditekankan pada hirarki atas.
    • Sentralisasi yang amat kuat
    • Menilai tinggi keseragaman dalam struktur organisasi
    • Pendelegasian wewenang yang kabur dalam manajemen
    • Kesulitan dalam menyusun uraian tugas dan analisis jabatan yang
      semata-mata bersifat teknis
    • Kegagalan dalam upaya menerapkan organisasi matriks
    • Perkembangan profesionalisme berdasarkan spesialisasi dalam
      organisasi yang masih sulit.
    • Weberisasi
      Weberisasi adalah program untuk mengarahkan birokrasi sehingga
      menjadi alat pembangunan yang bekerja secara efisien, rasional,
      profesional dan berorientasi melayani masyarakat (public service).
    • Parkinsonisasi
      Parkinsonisasi merupakan kebijakan menata birokrasi dengan
      memperbesar sosok kuantitatif birokrasi.
    • Orwellisasi
    • Orwellisasi ditunjukkan untuk mendukung pembesaran sosok negara
      vis a vis masyarakat, dan pada gilirannya dapat meningkatkan
      kapabilitas regulatif negara.
    • Jaksonisasi
      Istilah ini dikenal untuk konteks Indonesia. Jaksonisasi adalah upaya
      untuk menjadi birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan negara dan
      menyingkirkan masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan
      sehingga terbentuk apa yang disebut oleh Karl D. Jackson (1980)
      sebagai bureaucraty polity.
    • Strategi inti, yaitu strategi yang mempunyai tujuan jelas dan
      berhubungan dengan fungsi utama pemerintah, yaitu pengendalian.
    • Strategi konsekuensi, yaitu strategi yang memaksa para pegawainya
      untuk mentaati semua peraturan yang telah ditetapkan.
    • Strategi pelanggan, yaitu strategi yang mengutamakan
      pertanggungjawaban birokrasi.
    • Strategi pengawasan, yaitu strategi yang menempatkan kekuasaan/
      wewenang untuk membuat keputusan, yang pada umumnya
      kekuasaan tersebut selalu berhubungan dengan puncak hirarki.
      Strategi ini mendorong kekuasaan pembuat keputusan secara
      signifikan diturunkan berdasarkan prinsip hirarki yang pada akhirnya akan sampai kepada masyarakat.
    • Strategi kebudayaan, yaitu strategi yang dipengaruhi keempat strategi
      di atas yang berarti dengan mengubah keempat strategi itu maka
      budaya akan berubah pula.
  1. Dengan mengacu pada birokrasi modern, dalam organisasi birokrasi di
    Indonesia terdapat beberapa aspek birokrasi yang dianggap dipengaruhi
    oleh kultur di Indonesia. Aspek-aspek tersebut adalah:
    Birokratisasi adalah proses menuju ciri-ciri prototipikal birokrasi. Dalam
    terminologi ilmu politik, dikenal bentuk-bentuk kebijakan birokratisasi
    yang umumnya ditemui dalam praktik pembangunan di Dunia Ketiga,
    yaitu:
    Untuk menciptakan pola birokrasi yang mandiri, mampu berpikir dan
    independen, diperlukan adanya perubahan-perubahan yang
    fundamental, melalui lima strategi berikut, yaitu:
Sumber buku Ilmu Pememrintahan Karya Jrg. Djopari

Mengenal Pemikiran Herbert Spencer


Mengenal Pemikiran Herbert Spencer
Herbert Spencer adalah seorang filsuf, sosiolog pengikut aliran sosiologi organis, dan ilmuwan pada era Victorian yang juga mempunyai kemampuan di bidang mesin. Pemuda Spencer pada usia 17 tahun diterima kerja di bagian mesin untuk perusahaan kereta api London dan Birmingham. Kariernya bagus sehingga dipercaya sebagai wakil kepala bagian mesin. Setelah beberapa waktu lamanya bekerja di perusahaan kereta api, kemudian pindah pekerjaan menjadi redaktur majalah The Economist yang saat itu terkenal. Spencer mempunyai sebuah kemampuan yang luar biasa dalam hal mekanik. Hal ini akan ikut serta mewarnai seluruh imajinasinya tentang biologi dan sosial di masa yang akan datang. Spencer adalah seorang pembaca yang luar biasa, kolektor yang tekun mengumpulkan fakta-fakta mengenai masyarakat di manapun di dunia ini, dan penulis yang produktif. Ia mengembangkan sistem filsafat dengan aspek-aspek utiliter dan evolusioner. Spencer membangun utiliterisme jeremy Bentham. Spencerlah yang menggunakan istilah Survival of the fittest pertama kali dalam karyanya Social Static (1850) yang kemudian dipopulerkan oleh Charles Darwin. Spencer selain menerbitkan buku lepas, juga menerbitkan buku dan artikel berseri. Beberapa diantaranya adalah Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-1896) yang meliputi biologi, psikologi, dan etika.
Spencer mempopulerkan konsep ‘yang kuatlah yang akan menang’ (Survival of the fittest) terhadap masyarakat. Pandangan Spencer ini kemudian dikenal sebagai ‘Darwinisme sosial’ dan banyak dianut oleh golongan kaya (Paul B Horton dan Chester L. Hunt, Jilid 2 1989: 208).
Terbitnya buku Principles of Sociology karya Herbert Spencer yang berisi pengembangan suatu sistematika penelitian masyarakat telah menjadikan sosiologi menjadi populer di masyarakat dan berkembang pesat. Sosiologi berkembang pesat pada abad 20, terutama di Perancis, Jerman, dan Amerika

Pandangan Herbert Spencer tentang Sosiologi
Spencer adalah orang yang pertama kali menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkret. Tindakan ini kemudian diikuti oleh para sosiolog sesudahnya, baik secara sadar atau tidak sadar.
Spencer memperkenalkan pendekatan baru sosiologi yaitu merekonsiliasi antara ilmu pengetahuan dengan agama dalam bukunya First Prinsciple. Dalam bukunya ini Spencer membedakan fenomena tersebut dalam 2 fenomena yaitu fenomena yang dapat diketahui dan fenomena yang tidak dapat diketahui. Di sini Spencer kemudian mencoba menjembatani antara ilham dengan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya Spencer memulai dengan 3 garis besar teorinya yang disebut dengan tiga kebenaran universal, yaitu adanya materi yang tidak dapat dirusak, adanya kesinambungan gerak, dan adanya tenaga dan kekuatan yang terus menerus.
Di samping tiga kebenaran universal tersebut di atas, menurut Spencer ada 4 dalil yang berasal dari kebenaran universal, yaitu kesatuan hukum dan kesinambungan, transformasi, bergerak sepanjang garis, dan ada sesuatu irama dari gerakan.
Spencer lebih lanjut mengatakan bahwa harus ada hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor-faktor yang berbeda di dalam proses evolusioner. Sedang sistem evolusi umum yang pokok menurut Spencer seperti yang dikutip Siahaan, ada 4 yaitu ketidakstabilan yang homogen, berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam ratio geometris, kecenderungan terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk pengelompokan atau segregasi, dan adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.
Spencer memandang sosiologi sebagai suatu studi evolusi di dalam bentuknya yang paling kompleks. Di dalam karyanya, Prinsip-prinsip Sosiologi, Spencer membagi pandangan sosiologinya menjadi 3 bagian yaitu faktor-faktor ekstrinsik asli, faktor intrinsik asli, faktor asal muasal seperti modifikasi masyarakat, bahasa, pengetahuan, kebiasaan, hukum dan lembaga-lembaga.
Giddings pada tahun 1890 meringkas ajaran sistem sosial yang telah disepakati oleh Spencer sendiri adalah sebagai berikut:
  1. Masyarakat adalah organisme atau superorganis yang hidup berpencar-pencar.
  2. Antara masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu equilibrasi tenaga agar kekuatannya seimbang.
  3. Konflik menjadi suatu kegiatan masyarakat yang sudah lazim.
  4. Rasa takut mati dalam perjuangan menjadi pangkal kontrol terhadap agama.
  5. Kebiasaan konflik kemudian diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dan agama menjadi militerisme.
  6. Militerisme menggabungkan kelompok-kelompok sosial kecil menjadi kelompok sosial lebih besar dan kelompok-kelompok tersebut memerlukan integrasi sosial.
  7. Kebiasaan berdamai dan rasa kegotongroyongan membentuk sifat, tingkah laku serta organisasi sosial yang suka hidup tenteram dan penuh rasa setia kawan.

Teori Herbert Spencer tenang Evolusi Masyarakat, Etika, dan Politik
Evolusi secara umum adalah serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan, kumulatif, terjadi dengan sendirinya, dan memerlukan waktu lama. Sedang evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
Perspektif evolusioner adalah perspektif teoretis paling awal dalam sosiologi. Perspektif evolusioner pada umumnya berdasarkan pada karya August Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903).
Menurut Spencer, pribadi mempunyai kedudukan yang dominan terhadap masyarakat. Secara generik perubahan alamiah di dalam diri manusia mempengaruhi struktur masyarakat sekitarnya. Kumpulan pribadi dalam kelompok/masyarakat merupakan faktor penentu bagi terjadinya proses kemasyarakatan yang pada hakikatnya merupakan struktur sosial dalam menentukan kualifikasi.
Spencer menempatkan individu pada derajat otonomi tertentu dan masyarakat sebagai benda material yang tunduk pada hukum umum/universal evolusi. Masyarakat mempunyai hubungan fisik dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk tertentu dalam masyarakat.
Darwinisme sosial populer setelah Charles Darwin menerbitkan buku Origin of Species (1859), 9 tahun setelah Spencer memperkenalkan teori evolusi universalnya. Ia memandang evolusi sosial sebagai serangkaian tingkatan yang harus dilalui oleh semua masyarakat yang bergerak dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih rumit dan dari tingkat homogen ke tingkat heterogen.
Semua teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang dilalui oleh semua masyarakat. Perubahan sosial ditentukan dari dalam (endogen). Evolusi terjadi pada tingkat organis, anorganis, dan superorganis.
Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk perbaikan hidupnya. Pandangan-pandangan sosiologi Spencer sangat dipengaruhi oleh pesatnya kemajuan ilmu biologi, terutama beberapa ahli biologi berikut ini dan pandangannya:
  1. Pelajaran tentang sifat keturunan (descension) Lamarck (1909).
  2. Teori seleksi dari Darwin (1859).
  3. Teori tentang penemuan sel.
Membandingkan masyarakat dengan organisme, Spencer mengelaborasi ide besarnya secara detil pada semua masyarakat sebelum dan sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada 3 kecenderungan perkembangan masyarakat dan organisme:
  1. pertumbuhan dalam ukurannya,
  2. meningkatnya kompleksitas struktur, dan
  3. diferensiasi fungsi.
Teori tentang evolusi dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori yaitu:
  1. Unilinear theories of evolution.
  2. Universal theory of evolution.
  3. Multilined theories of evolution.
Spencer telah menggabungkan secara konsisten tentang etika, moral dan pekerjaan, terutama dalam bukunya The Principles of Ethics (1897/1898). Isu pokoknya adalah apakah etika dan politik menguntungkan atau merugikan sosiologi. Idenya adalah untuk memperluas metodologi individunya dan memfokuskan diri pada fernomena level makro berdasarkan pada fenomena individu sebagai unit.
Karakteristik orang dalam asosiasi negara diperoleh dari yang melekat pada tubuh, hukum, dan lingkungannya. Kedekatan individu adalah pada moral sosial dan yang lebih jauh adalah ketuhanan. Oleh karena itu orang melihat moral sebagai jalan hidup kebenaran yang hebat.
Sumber Buku Teori Sosiologi Klasik Karya Boedhi Oetoyo, dkk.

2/20/2012

Multicultural Education


Sumber dari :


Multicultural Education
by Keith Wilson
Associate Professor and Director of Rehabilitation Programs Department of Counselor Education, Counseling Psychology,and Rehabilitation Services, The Pennsylvania State University

 

 

What is Multicultural Education?

Multicultural education relates to education and instruction designed for the cultures of several different races in an educational system. This approach to teaching and learning is based upon consensus building, respect, and fostering cultural pluralism within racial societies. Multicultural education acknowledges and incorporates positive racial idiosyncrasies into classroom atmospheres.

Pros of Multicultural Education

A significant demographic transformation is on the horizon for the United States of America. Bennett (1995) estimates that "by the year 2000, over 30 percent of our school age population will be children of color" (p.18). Additionally, research has indicated that ethnic minority students are disproportionately poor, dropping out of school, being suspended or expelled, and achieving far below their potential relative to the ethnic majority (Bennett, 1995). Consequently, teachers must prepare themselves and their children for the ever changing challenge of interacting and communicating with diverse races. Reduction of fear, ignorance, and personal detachment are possible benefits to a Multicultural education. The following excerpts are taken from Paul Gorski (1995), a University of Virginia Doctoral student during a case study interview:
The idea of political correctness with the black race astounds me. I found it extremely interesting that some blacks in our class prefer to be called African American. In all of my classes...I have felt like I was stepping on egg shells as to not offend the blacks in my class. I am honestly glad it is not that big of an issue to my fellow classmates--it promotes a more comfortable, genuine environment for me to be totally honest and carefree.
Initially, the student interviewed in the case study reflected an attitude that would probably not facilitate consensus building, respect for other cultures, or fostering of cultural pluralism within different racial communities and in the classroom. However, with integrated curriculum, social activities, administrative support, and staff training, fear, ignorance, and personal detachment may be notably reduced in both students and teachers. Benefits to multicultural education can help to eliminate the crux of stereotyping, prejudice, racism, and bigotry (Fear, Ignorance, dis-ownership). Case study analyzed:
  1. fear: "I have felt like I was stepping on egg shells as to not offend blacks in my classes..."
  2. ignorance: "I found it extremely interesting that some blacks in our class prefer to be called African American."
  3. dis-ownership: "I am honestly glad it is not that big of an issue to my fellow classmates."
The writer agrees with Hilliard and Pine (1990), "if Americans are to embrace diversity, the conscious and unconscious expressions of racism (sexism) within our society must be identified and done away with" (p. 7). Multicultural education is the potential catalyst to bring all races together in harmony.

Cons of Multicultural Education

According to some views, if one wants to alienate and further fragment the communication and rapport between ethnic groups, implement multicultural education. As stated by Bennett (1995), "to dwell on cultural differences is to foster negative prejudices and stereotypes, and that is human nature to view those who are different as inferior" (p. 29). Thus, multicultural education will enhance feelings of being atypical. Schools in America may see multicultural education as a way to "color blind" their students to differences. Administrators may view the "color blind" approach as a gate keeper that assures equal treatment and justice for all students and as a way to facilitate compatibility and sameness of all cultures. A common statement from this line of thinking is, 'we are more alike than different'. We should focus on the similarities and not the differences to achieve greater equanimity among the races. Ethnicity is breaking up many nations. If one looks at the former Soviet Union, India, Yugoslavia, and Ethiopia, all countries are in some type of crisis. Closer to home, one observes the divisiveness of the Rodney King and O.J. Simpson trials in our country, we can see how focusing on race and multiculturalism may lead to a further divisiveness between the races in America. Over time, multicultural education may have unplanned for and undesired consequences. For example, multicultural education rejects the historic American goals of assimilation and integration of ethnic cultures into the majority culture. Hence, the perception may result that America is a country of distinct ethnic groups, as opposed to a more traditional view of the country that involves individuals making decisions for the good of the order (Schlesinger, 1991).
Multicultural education may increase the resentment encountered by students who feel that changes in school traditions, curriculum, and academic standards are not necessary to get along and respect students from ethnic minorities. Since many institutions resist change of any kind, passive resistance on the part of the administration may simulate acceptance of the tenants of Multicultural education. Of course, excepting the tenants of multicultural education should be avoided with enthusiasm and optimism.

What would real Multicultural Education look like?

The writer submits that multicultural education must have, as its crux, the below defining characteristics to achieve its purposes for students, teachers, parents, and administrators of the school system: a) a learning environment that supports positive interracial contact; b) a multicultural curriculum; c) positive teacher expectations; d) administrative support; and, e) teacher training workshops (Bennett, 1995). If one of the features is absent, frustration and heightened resentment may occur as backlash behaviors multiply. The effects of a positive multicultural climate may manifest in a number of ways, such as: a) diminished pockets of segregation among student body; b) less racial tension in the schools; c) increased ethnic minority retention and classroom performance; and, d) inclusion of a multicultural curriculum. In short, the multicultural educational environment should not be a microcosm of our present American society, with regard to issues of diversity and tolerance. Many factors determine a successful multicultural atmosphere, but the features as outlined above may be important indications of success.
Administrative support for multicultural education is critical. How can a house stand if the foundation is fragile. Multicultural education will be as successful as commitment to it by school administrators. Regardless of the level of commitment (local, state, and/or national), programs initiated under the guise of multiculturalism must receive reinforcement from administrators who are accountable for the success of established multicultural initiatives. A key factor in any proposed multicultural initiative is curriculum development.
A multicultural curriculum should be considered for several reasons: a) provides alternative points of view relative to information already taught in most educational systems; b) provides ethnic minorities with a sense of being inclusive in history, science etc.; and, c) decreases stereotypes, prejudice, bigotry, and racism in America and the world. A significant demographic transformation is on the horizon for American schools. Educational institutions have been dictated too long by attitudes, values, beliefs, and value systems of one race and class of people. The future of our universe is demanding a positive change for all (Hilliard & Pine, 1990).

Definition of Terms

  • Stereotype n. 1. a standardized image or conception shared by all members of a social group.
  • stereotyping, prejudice, racism, and bigotry.

References

Bennett, C. (1995). Comprehensive multicultural education: Theory and practice (3rd ed.). Massachusetts: Allen & Bacon. Hilliard, A. & Pine, G. (1990, April). Rx for Racism: Imperatives for American's schools. Phi Delta Kappan, (593 - 600).
Gorski, P. (1995). A course in race and ethnicity. Language of closet racism [ On-line: http//curry.eduschool.virginia.edu/go/multicultural/langofracism2.html.AvailableE-mail: pcg9@curry.edschool.virginia.edu.
Schlesinger. A. (1991, July 8). The cult of ethnicity, good and Bad. Time, 21. Word Perfect Corporation [Computer Software]. (3rd. Eds.) (1994).
Collins Electronic English Dictionary & Thesaurus. Orem, Utah. Authors.

2/19/2012

GLOBALIZATION

Pengertian Globalisasi

Globalisasi sering diartikan sebagai interaksi antar manusia di muka bumi yang sudah semakin intensif karena kemajuan teknologi komunikasi. Globalisasi di satu sisi menimbulkan masalah tetapi juga memberikan banyak manfaat. Berikut definisi globalisasi :

Andrew Hurrell 
“globalization” 
The Concise Oxford Dictionary of Politics.

Globalization A central part of the rhetoric of contemporary world politics and the subject of increasing volumes of academic analysis. It resists any single or simple definition. Although often associated with claims that the present world system is undergoing transformation, it is an old idea. There is a long tradition of writers emphasizing the external economic constraints that act upon nation states and the transforming impact of global economic processes, with Marx being amongst the most powerful and prescient. Such themes were revived in the late 1960s and early 1970s when writers on interdependence and modernization argued that the rapid expansion of international trade and investment, the increased awareness of ecological interdependence, the declining utility of military power, and the increasing power of non-state actors ( multinational corporations but also religious organizations and terrorist groups) constituted a systemic shift that would increasingly undermine the traditional role and primacy of nation states. The 1970s literature on interdependence faded under pressure from two sources. First, the reappearance of superpower confrontation and the second Cold War appeared to justify those who took a more Hobbesian view of international life, dominated by military confrontation rather than economic exchange. Second, within academia, statists and realists responded vigorously, arguing, for example, that multinational corporations were closely tied to states and to patterns of interstate politics; that the state was still the most important institution of international order; that military power had not declined in its utility; and, most important of all, that the international political system with its dominant logic of power balancing remained the most important element of any theory of international politics.
However, with the end of the Cold War, academic interest shifted back to the role of external or global economic factors, this time under the broad banner of ‘globalization’. It is far from easy to gather together the wide variety of meanings attached to the term globalization. At one level it appears simple. Globalization is about the universal process or set of processes which generate a multiplicity of linkages and interconnections which transcend the states and societies which make up the modern world system. It involves a dramatic increase in the density and depth of economic, ecological, and societal interdependence, with ‘density’ referring to the increased number, range, and scope of cross-border transactions; and ‘depth’ to the degree to which that interdependence affects, and is affected by, the ways in which societies are organized domestically.
In reality, much of the muddle and inconclusiveness of the debates on globalization stem from the ambiguities of the concept. Globalization is sometimes presented as a causal theory: certain sorts of global processes are held to cause certain kinds of outcomes; sometimes it is a collection of concepts, mapping (but not explaining) how the changing global system is to be understood; and sometimes it is understood as a particular kind of discourse or ideology (often associated with neo-liberalism). There are also important distinctions between economistic readings of globalization (that stress increased interstate transactions and flows of capital, labour, goods and services) and social and political readings (that stress the emergence of new forms of governance and authority, new arenas of political action (‘deterritorialization’ or the ‘reconfiguration of social space’), or new understandings of identity or community). Within economistic readings, there are distinctions between a traditional focus on interstate economic transactions and broader shifts in transnational production-structures and the emergence of new kinds of deterritorialized markets. Distinctions are also drawn between globalization, internationalization, westernization, and modernization. And there is the important distinction between the claim that globalization should be seen as the continuation of a deep-rooted set of historical processes and the view that contemporary globalization represents a critical break-point or fundamental discontinuity in world politics.
Perhaps the most important single idea concerns the growing disjuncture between the notion of a sovereign state directing its own future, the dynamics of the contemporary global economy, and the increasing complexity of world society. More specifically, there are three broad categories of claim that globalization is having a deep, perhaps revolutionary, impact. In the first place, it is widely argued that certain sets of economic policy tools have ceased to be viable and that states face ever increasing pressures to adopt increasingly similar pro-market policies. Because of the increasing power of financial markets, governments are forced into pursuing macroeconomic policies that meet with the approval of these markets. Increasing trade also places governments under pressure to adopt pro-market policies, avoiding policies which would imply the need to harm business by taxation, or to raise interest rates as a consequence of increased borrowing. They also find themselves forced to cut back the role of the public economy in order to attract inward investment from increasingly footloose multinational companies quick to punish governments who stray from the path of economic righteousness by exercising their exit option. Consequently, the range of policy options open to governments is claimed to be dramatically reduced.
A second cluster of arguments relates to the degree to which globalization has created the conditions for an ever more intense and activist global or transnational civil society. The physical infrastructure of increased economic interdependence (new systems of communication and transportation) and the extent to which new technologies (satellites, computer networks, etc.) have increased the costs and difficulty for governments of controlling flows of information, has facilitated the diffusion of values, knowledge, and ideas, and enhanced the ability of like-minded groups to organize across national boundaries. Transnational civil society, then, refers to those self-organized intermediary groups that are relatively independent of both public authorities and private economic actors; that are capable of taking collective action in pursuit of their interests or values; and that act across state borders. Globalization writers have laid great emphasis on the roles played by non-governmental organizations, social movements, and multinational corporations, but such activity also includes transnational drug and criminal groups and transnational terrorism. The analytical focus of much of this work has been on transnational networks—for example, knowledge-based networks of economists, lawyers, or scientists; or transnational advocacy networks which act as channels for flows of money and material resources but, more critically, of information and ideas.
A third cluster of arguments suggests that it is institutional enmeshment rather than economic transactions or the ‘reconfiguration of social space’ that has most constrained the state. On this view, states are increasingly rule-takers over a vast array of rules, laws, and norms that are promulgated internationally but which affect almost every aspect of how they organize their societies domestically. Proponents of this view highlight the tremendous growth in the number of international organizations; they point to the vast increase in both the number of international treaties and agreements and the scope and intrusiveness of such agreements; and they suggest that important changes are occurring in the character of the international legal system (the increased pluralism of the process by which new norms and rules emerge; the appearance of more and more ‘islands of supranational governance’ (such as the EU or the WTO); the blurring of municipal, international, and transnational law; and the increased importance of informal, yet norm-governed, governance mechanisms, often built around complex transnational and transgovernmental networks).
The critics attack along a number of fronts. First, they highlight the lack of clear and consistent definitions of globalization and the deep ambiguities as to what ‘globalization theory’ is supposed to involve or explain. Second, they point to the mounting empirical grounds for scepticism, for example: that levels of globalization are not higher or more intense than in earlier periods (especially the period before WW1); that there is no clear evidence of state retreat, of welfare states being cut back because of globalization pressures, of transnational capital standing in automatic opposition to social welfare, or of globalization being the most important factor in explaining levels of inequality in OECD countries. Whilst many of the changes and challenges of globalization are very real, the critics argue that they do not point in a single direction and certainly do not provide secure grounds for accepting the claim that some sort of deep change or transformation is under way. Third, the critics argue that globalization has been driven not by some unstoppable logic of technological innovation, but by specific sets of state policies, backed by specific political coalitions. This suggests that states themselves are not passive players and that the impact of globalization will often depend on national-level political and institutional factors. Equally, even where liberalizing effects can be attributed to globalization, it is not always the case that this implies state retreat—as in the process by which privatization and deregulation have involved re-regulation. Nor does globalization inevitably push governments towards declining state activism. It can, on the contrary, lead to increased pressure on government to provide protection against the economic and social dislocations that arise from increased liberalization and external vulnerability. Finally, the critics remain deeply unconvinced by the arguments for systemic transformation, highlighting the degree to which international institutions are created by states for particular purposes and the evident capacity of powerful states to resist or even abandon such institutions; the continued importance of military power controlled by states and of political boundaries and of national allegiances even in regions of dense economic and societal interdependence; and the very deep resistance of the United States as the global hegemon to contemplate giving up its own sovereignty and the capacity of the United States to both shape and resist the course of globalization.



Andrew Hurrell “globalization” The Concise Oxford Dictionary of Politics. Ed. Iain McLean and Alistair McMillan. Oxford University Press, 2003. Oxford Reference Online. Oxford University Press.

2/18/2012

HUKUM TATA NEGARA

 Dari berbagai sumber

Hukum Tata Negara adalah hukum mengenai susunan suatu Negara. Negara adalah suatu organisasi yang mengatur keseluruhan hubungan natara manusia satu sama lain dalam masyarakat, dan menegakkan aturan tersebut dengan kewajibanya. Negara adalah organisasi kekuasaan/ kewibawaan dan kelompok manusia yang ada dibawah pemerintahnya, merupakan masyarakat yang tunduk kepada kekuasaan/ kewibawaannya. Disamping itu Negara mempergunakan kewibawaan tersebut untuk menjamin danmengelola kepentingan-kepentingan materiil dan spiritual para anggotanya (Dedi Sumardi: Pengantar Hukum Indonesia)


Negara memperlihatkan 3 kenyataan:
Kekuasaan Tertinggi
Wilayah, yaitu lingkungan kekuasaan
Warga Negara

Tentang kekuasaan tertinggi dan legitimasi kekuasaan tertinggi terdapat banyak pendapat:
Teori Teokrasi, mendasarkan (melegitimasi) kekuasaan Negara pada kehendak Tuhan, tidak mungkin diadakan pemisahan antara negara dan agama.
Negara sebagai Organisasi Kekuatan belaka, Negara mempertahankan dan menjalankan kekuatan.
Teori Perjanjian, menitikberatkan kekuasaan Negara didasarkan atas suatu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat. Negara selayaknya merupakan negara demokrasi langsung.
Diantara teori-teori Perjanjian, Teori Rousseau yang paling berpengaruh. Dian berpendapat bahwa negara bersifat sebagai wakil rakyat, yang merupakan kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Negara selayaknya merupakan negara demokrasi langsung.
Teori Kedaulatan Negara, memandang bahwa hukum ada karena negara menghendakinya. Setiap tindakan pemerintah merupakan kehendak negara, tindakannya tidak dapat dibatasi oleh hukum, karena hukum buatan negara. Tidak mungkin negara harus tunduk kepada buatannya sendiri.
Teori kedaulatan negara mendaat tantangan dari berbagai sarjana hukum, terutama Krabbe yang terkenal dengan teori kedaulatan hukum. Dalam teori tersebut bukan hanya manusia dibawah perintah hukum, negarapun dibawah perintah hukum. Hukum berdaulat, hukum berada diatas segala sesuatu, termasuk negara. Apa yang dikemukakan oleh Krabbe adalah konsep negara hukum.

Negara hukum berdasarkan 2 asas pokok, yaitu:

1. Asas Legalitas, yaitu asas bahwa semua tindakan negara harus didasarkan atas dan dibatasi oleh peraturan, yaitu Rule of Law. Badan-badan pemerintah tidak dapat melakukan tindakan yang bertentangan dengan inti UUD atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Menurut pasal 1 ayat 3: negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Ini mengandung arti bahwa negara, dimana termasuk didalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain, dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP juga tercermin asas negara hukum dimana ditetapkan tiada suatu peristiwapun dapat dipidanakan nelainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam UU, yang terdahulu dari peristiwa itu

2. Asas Perlindungan Kebebasan dan Hak Pokok Manusia, semua orang yang ada diwilayah negara dalam hal kebebasan dan hak itu sesuai dengan kesejahteraan umum.


Kekuasaan Tertinggi negara dilakukan dalam suatu wilayah tertentu, yaitu wilayah negara, tempat dimana kekuasaan tertinggi itu dapat dijalankan secara efektif, yang meliputi tanah, laut dan udara. Lingkungan kekuasaan sesuatu negara biasanya teritur. Batas-batas wilayah terotorial suatu negara biasanya ditentukan oleh masing-masing negara dengan memperhatikan sebnayak-banyaknya asas hukum internasional. Jarak 3 mil laut menjadi batas tradisional lebarnya laun. Pada jaman sekarang bagian terbesar negara telah memperluas lebarnya laut teritorial sampai 12 mil laut. Setelah itu diterima asas, bahwa setiap negara berhak menggali kekayaan alam tang terkandung dalam landasan laut sampai batas yang merupakan wilayah negara.

a. Seluruh daerah (tanah) bekas jajahan hindia Belanda, termasuk Irian Jaya/ Papua yang administrasinya diserahkan kepad pemerintah RI oleh PBB pada tanggal 1 Mei 1963.

b. Batas perairan Indonesia adalah 12 mil laut dengan mempertahankan prinsip wawasan nusantara, yaitu segala perairan disekitar, diantara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk negara Indonesia merupakan bagian dari wilayah Indonesia.

c. Ruang udara diatas tanah dan laut wilayah negara RI sesuai dengan traktat Paris tahun 1919 yang menetapkan bahwa udara diatas teritur negara termasuk teritur negara tersebut.


Warga Negara adalah mereka yang merupakan keanggotaan yuridis dari negara. Siapa yang tidak termasuk warga negara adalah orang asing. Agar dapat menetukan siapa warga negara dan siapa yang tidak, dapat digunakan dasar penentuan tersebut dengan 2 ukuran, yaitu Ius Sanguinis dan Ius Soli.


Ius Sanguinis, seseorang menjadi warga negara karena keturunan, misalnya anak warga negara Indonesia yang lahir di manapun juga, dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia.


Ius Soli, seseorang menjadi warga negara karena kelahiran diwilayah suatu negara tertentu atau karena dia sudah beberapa waktu lamanya menjadi penduduk suatu negara tertentu.


Selain 2 asas kewarganegaraan tersebut, dipergunakan 2 stelsel kewarganegaraan, yaitu stelsel aktif dan stelsel pasif. Stelsel aktif, orang harus melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif untuk menjadi warga negara. Sedangkan stelsel pasif, orang dengan sendirinya diangap menjadi warga negara tanpa melakukan sesuatu tindakan hukum tertentu. Sehubungan dengan kedua stelsel tersebut harus dibedakan:
Hak Opsi, yaitu hak untuk memilih kewarganegaraan (dalam stelsel aktif)
Hak Repudiasi, yaitu hak untuk menolak suatu kewarganegaraan (dalam stelsel pasif)

Dalam menetukan kewarganegaraan beberapa negara memakai asas Ius Soli sedangkan di negara lain berlaku Isu Sanguinis. Hal ini dapat menimbulkan 2 kemungkinan:
Apatride (Stateless) adalah penduduk yang sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan.
Bipatride, yaitu penduduk yang mempunyai 2 macam kewarganegaraan rangkap atau dwi kewarganegaraan (Utrecht, Bab VII, hal 3)

Organisasi suatu negara disusun berdasarkan hukum tata negara positif dari negara yang bersangkutan. Demikian juga organisasi negara Indonesia disusun berdasarkan hukum tata negara Indonesia. Dalam Hukum Tata Negara Indonesia terdapat 2 hal yaitu:
Bagaimana organisasi negara Indonesia.
Bagaimana sistem hukum tata negara Indonesia.

2/17/2012

Sejarah Pers, Pengertian Pers, Fungsi dan Peranan Pers di Indonesia

Sejarah Pers, Pengertian Pers, Fungsi dan Peranan Pers di Indonesia
 
Pengertian Pers – Kata pers adalah istilah kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Seperti halnya yang sering kita dengar yaitu Jumpa pers artis, jumpa pers mabes polri dan lain sebagainya. Banyak orang berasumsi pers identik dengan seorang wartawan, namun sebenarnya bukan itu saja, melainkan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh media termasuk didalamnya adalah wartawan. Lalu bagaimana pengertian pers yang sebanarnya, atau pengertian pers menurut para ahli dan bagaimana sejarah pers hingga sampai saat ini, serta fungsi dan peranan pers khususnya di indonesia?. OK.. untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, silakan simak baik-baik artikel yang duniabaca.com rangkum dari berbagai sumber mengenai sejarah pers, pengertian pers, fungsi dan peranan pers di indonesia.

Pengertian Pers
 Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication).

Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.

Pers mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu: pertama ia merupakan medium komunikasi yang tertua di dunia, dan kedua, pers sebagai lembaga masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral dari masyarakat, dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah daripadanya. Dan sebagai lembaga masyarakat ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga- lembaga masyarakat lainnya.

Pers adalah kegiatan yang berhubungan dengan media dan masyarkat luas. Kegiatan tersebut mengacu pada kegiatan jurnalistik yang sifatnya mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah materi, dan menerbitkanya berdasarkan sumber-sumber yang terpercaya dan valid.

Pengertian Pers Menurut Para Ahli

Wilbur Schramm, dkk dalam bukunya “Four Theories of the Press” mengemukakan 4 teori terbesar dari pers, yaitu the authoritarian, the libertarian, the social responsibility, dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat.


Sementara Mc. Luhan menuliskan dalam bukunya Understanding Media terbitan tahun 1996 mengenai pers sebagai the extended of man, yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan peristiwa satu dengan peristiwa lain pada momen yang bersamaan.


Menurut Bapak Pers Nasional, Raden Mas Djokomono, Pers adalah yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang membakar semangat para pejuang dalam memperjuangkan hak-hak bangsa indonesia pada masa penjajahan belanda.<.li>


Sejarah Pers di Indonesia
 • Sejarah Pers Kolonial
 Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa kolonial/penjajahan. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis Belanda.

• Sejarah Pers China
 Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers Cina meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.

• Sejarah Pers Nasional
 Pers Nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan. Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers Nasional

Perkembangan Pers Nasional
 • Pers pada masa Penjajahan Belanda dan Jepang
1. Zaman Belanda
 Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita- berita resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Sedangkan di Surabaya Soerabajash Advertentiebland terbit pada tahun 1835 yang kemudian namanya diganti menjadi Soerabajash Niews en Advertentiebland.

Di semarang terbit Semarangsche Advertentiebland dan Semarangsche Courant. Di Padang surat kabar yang terbit adalah Soematra courant, Padang Handeslsbland dan Bentara Melajoe. Di Makassar (Ujung Pandang) terbit Celebe Courant dan Makassaarch Handelsbland. Surat- surat kabar yang terbit pada masa ini tidak mempunyai arti secara politis, karena lebih merupakan surat kabar periklanan. Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar setiap kali terbit. Semua penerbit terkena peraturan, setiap penerbitan tidak boleh diedarkan sebelum diperiksa oleh penguasa setempat.

Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa melayu diantaranya adalah Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar, Selompret Melayudan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan Surat kabar berbahasa jawa Bromartani yang terbit di Solo

2. Zaman Jepang
 Ketika Jepang datang ke Indonesia, surat kabar-surat kabar yang ada di Indonesia diambil alih pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat- alat tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor berita Antara pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang, yakni Domei.

Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada masa itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.

Fungsi dan Peranan Pers di Indonesia
 Fungsi dan peranan pers Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial . Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahuimenegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaanmengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benarmelakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umummemperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian, lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi( the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif , serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif. Fungsi peranan pers itu baru dapat dijalankan secra optimal apabila terdapat jaminan kebebasan pers dari pemerintah. Menurut tokoh pers, jakob oetama , kebebsan pers menjadi syarat mutlak agar pers secara optimal dapat melakukan pernannya. Sulit dibayangkan bagaiman peranan pers tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada jaminan terhadap kebebasan pers. Pemerintah orde baru di Indonesia sebagai rezim pemerintahn yang sangat membatasi kebebasan pers . ha l ini terlihat, dengan keluarnya Peraturna Menteri Penerangan No. 1 tahun 1984 tentang Surat Izn Usaha penerbitan Pers (SIUPP), yang dalam praktiknya ternyata menjadi senjata ampuh untuk mengontrol isi redaksional pers dan pembredelan.

Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat baik dan dapat buruk, namun tanpa pers bebas yang ada hanya celaka. Oleh karena salah satu fungsinya ialah melakukan kontrol sosial itulah, pers melakukan kritik dan koreksi terhadap segal sesuatu yang menrutnya tidak beres dalam segala persoalan. Karena itu, ada anggapan bahwa pers lebih suka memberitakan hah-hal yang slah daripada yang benar. Pandangan seperti itu sesungguhnya melihat peran dan fungsi pers tidak secara komprehensif, melainkan parsial dan ketinggalan jaman.Karena kenyataannya, pers sekarang juga memberitakan keberhasilan seseorang, lembaga pemerintahan atau perusahaan yang meraih kesuksesan serta perjuangan mereka untuk tetap hidup di tengah berbagai kesulitan.

(dari berbagai sumber)

2/15/2012

Prinsip-Prinsip Demokrasi

A. Pengertian dan Prinsip – prinsip Budaya Demokrasi

1. Pengertian Demokrasi

Secara etimologis, demokrasi berasal bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk dan cratein yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dengan demikian, secara bahasa demokrasi adalah keadaan negara di mana kedaulatan atau kekuasaan tertingginya berada di tangan rakyat. Konsep demokrasi diterima oleh hampir seluruh negara di dunia. Diterimanya konsep demokrasi disebabkan oleh keyakinan mereka bahwa konsep ini merupakan tata pemerintahan yang paling unggul dibandingkan dengan tata pemerintahan lainnya.
Demokrasi telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln mengatakan demokrasi adalah government of the people, by the people and for the people.

2. Macam-Macam Demokrasi

Menurut cara penyaluran kehendak rakyat, demokrasi dibedakan atas :
  • Demokrasi Langsung
  • Demokrasi Tidak Langsung
Menurut dasar prinsip ideologi, demokrasi dibedakan atas :
  • Demokrasi Konstitusional (Demokrasi Liberal)
  • Demokrasi Rakyat (Demokrasi Proletar)
Menurut dasar yang menjadi titik perhatian atau prioritasnya, demokrasi dibedakan atas :
  • Demokrasi Formal
  • Demokrasi Material
  • Demokrasi Campuran
Menurut dasar wewenang dan hubungan antara alat kelengkapan negara, demokrasi dibedakan atas :
  • Demokrasi Sistem Parlementer
  • Demokrasi Sistem Presidensial
3. Prinsip-Prinsip Demokrasi yang Berlaku Universal
Inu Kencana Syafiie merinci prinsip-prinsip demokrasi sebagai berikut, yaitu ; adanya pembagian kekuasaan, pemilihan umum yang bebas, manajemen yang terbuka, kebebasan individu, peradilan yang bebas, pengakuan hak minoritas, pemerintahan yang berdasarkan hukum, pers yang bebas, beberapa partai politik, konsensus, persetujuan, pemerintahan yang konstitusional, ketentuan tentang pendemokrasian, pengawasan terhadap administrasi negara, perlindungan hak asasi, pemerintah yang mayoritas, persaingan keahlian, adanya mekanisme politik, kebebasan kebijaksanaan negara, dan adanya pemerintah yang mengutamakan musyawarah.
Prinsip-prinsip negara demokrasi yang telah disebutkan di atas kemudian dituangkan ke dalam konsep yang lebih praktis sehingga dapat diukur dan dicirikan. Ciri-ciri ini yang kemudian dijadikan parameter untuk mengukur tingkat pelaksanaan demokrasi yang berjalan di suatu negara. Parameter tersebut meliputi empat aspek.Pertama, masalah pembentukan negara. Proses pembentukan kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana kualitas, watak, dan pola hubungan yang akan terbangun. Pemilihan umum dipercaya sebagai salah satu instrumen penting yang dapat mendukung proses pembentukan pemerintahan yang baik. Kedua, dasar kekuasaan negara. Masalah ini menyangkut konsep legitimasi kekuasaan serta pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Ketiga, susunan kekuasaan negara. Kekuasaan negara hendaknya dijalankan secara distributif. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemusatan kekuasaan dalam satu tangan..Keempat, masalah kontrol rakyat. Kontrol masyarakat dilakukan agar kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau negara sesuai dengan keinginan rakyat.

B. Proses Demokratisasi Menuju Masyarakat Madani (Civil Society)

1. Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara, memiliki ruang publik (public sphere) dalam mengemukakan pendapat, dan memiliki lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.

2. Kaitan antara Masyarakat Madani dengan Demokrasi
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi (demokratisasi) menurut M. Dawam Rahadjo, bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya bersifat ko-eksistensi atau saling mendukung. Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah masyarakat madani dapat berkembang secara wajar. Nurcholish Madjid memberikan penjelasan mengenai keterkaitan antara masyarakat madani dengan demokratisasi. Menurutnya, masyarakat madani merupakan tempat tumbuhnya demokrasi. Pemilu merupakan simbol bagi pelaksanaan demokrasi. Masyarakat madani merupakan elemen yang signifikan dalam membangun demokrasi. Salah satu syarat penting bagi demokrasi adalah terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara atau pemerintahan. Masyarakat madani mensyaratkan adanya civic engagement yaitu keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi sosial. Civic engagement ini memungkinkan tumbuhnya sikap terbuka, percaya, dan toleran antara satu dengan lainnya. Masyarakat madani dan demokrasi menurut Ernest Gellner merupakan dua kata kunci yang tidak dapat dipisahkan. Demokrasi dapat dianggap sebagai hasil dinamika masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi.

C. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia (Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi)

Perkembangan demokrasi di Indonesia dari segi waktu dapat dibagi dalam empat periode, yaitu :
1. Periode 1945-1959 Demokrasi Parlementer
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Sistem ini kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Meskipun sistem ini dapat berjalan dengan memuaskan di beberapa negara Asia lain, sistem ini ternyata kurang cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya persatuan bangsa. Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.

2. Periode 1959-1965 (Orde Lama)Demokrasi Terpimpin
Pandangan A. Syafi’i Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno seagai “Ayah” dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang besar dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif.
3. P eriode 1965-1998 (Orde Baru) Demokrasi Pancasila
Ciri-ciri demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat mendominasi pemerintahan, terbatasnya peran partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh; dominannya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik, masa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah

4. Periode 1998-sekarang( Reformasi )
Orde reformasi ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatan presiden kemudian diisi oleh wakil presiden, Prof. DR. Ir. Ing. B.J. Habibie. Turunnya presiden Soeharto disebabkan karena tidak adanya lagi kepercayaan dari rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru. . Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis karena dalam fase ini akan ditentukan ke mana arah demokrasi akan dibangun

D. Menampilkan Perilaku Budaya dan Prinsip-Prinsip Demokrasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Beberapa karakteristik yang harus ditampilkan dari warga negara yang berkarakter dan berjiwa demokratis, yaitu ;Memilki sikap rasa hormat dan tanggung jawab, bersikap kritis, membuka diskusi dan dialog, bersikap terbuka, bersikap rasional, adil, dan selalu bersikap jujur. Warga negara yang otonom harus melakukan tiga hal untuk mewujudkan demokrasi konstitusional, yaitu menciptakan kultur taat hukum yang sehat dan aktif (culture of law), ikut mendorong proses pembuatan hukum yang aspiratif (process of law making), mendukung pembuatan materi-materi hukum yang responsif (content of law), ikut menciptakan aparat penegak hukum yang jujur dan bertanggung jawab (structure of law).

PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI PANCASILA

1.Prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila
Ahmad Sanusi mengutarakan 10 pilar demokrasi konstitusional Indonesia menurut Pancasila dan Undang-indang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang sebagai berikut:
a.Demokrasi yang Berketuhanan Yang maha Esa
b.Demokrasi dengan kecerdasan
c.Demokrasi yang berkedaulatan rakyat
d.Demokrasi dengan rule of law
e.Demokrasi dengan pemisahan kekuasaan Negara
f.Demokrasi dengan hak asasi manusia
g.Demokrasi dengan pengadilan yang merdeka
h.Demokrasi dengan otonomi daerah
i.Demokrasi dengan kemakmuran
j.Demokrasi yang berkeadilan social

Demokrasi Pancasila mendasarkan diri pada faham kekeluargaan dan Kegotong-royongan yang ditujukan untuk:
a. Kesejahteraan rakyat
b. Mendukung unsur-unsur kesadaran hak ber-ketuhanan Yang Maha Esa
c. Menolak atheisme
d. Menegakkan kebenaran yang berdasarkan kepada budi pekerti yang luhur
e. Mengembangkan kepribadian Indonesia
f. Menciptakan keseimbangan perikehidupan individu dan masyarakat, kasmani dan rohani, lahir dan bathin, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan Tuhannya.


2.Pelaksanaan demokrasi di Indonesia
Demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,dan untuk rakyat.
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Negara kita, semua konstitusi yang pernah berlaku menganut prinsip demokrasi. Hal ini dapat dilihat misalnya:
a.Dalam UUD 1945 (sebelum diamandemen) pasal 1 ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
b.Dalam UUD 1945 (setelah diamandemen) pasal 1 ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”.
c.Dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat, Pasal 1:
1)Ayat (1) berbunyi: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara hokum yang demokrasi dan berbentuk federasi”.
2)Ayat (2) berbunyi: “Kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat”.
d.Dalam UUDS 1950 pasal 1:
1)Ayat (1) berbunyi: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara hokum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
2)Ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan Republik Indonesia adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan rakyat”.

Untuk melihat apakah suatu system pemerintahan adalah system yang demokratis atau tidak, dapat dilihat dariinfikator-indikator yang dirumuskan oleh Affan Gaffar berikut ini:
a.Akuntabilitas
b.Rotasi Kekuasaan
c.Rekruitmen politik yang terbuka
d.Pemilihan umum
e.Menikmati hak-hak dasar

a.Demokrasi pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan
Pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan ini (1945-1949), pelaksanaan demokrasi baru terbatas pada interaksi politik diparlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan.
Meskipun tidak banyak catatan sejarah yang menyangkut perkembangan demokrasi pada periode ini, akan tetapi pada periode tersebut telah diletakkan hal-hal mendasar. Pertama, pemberian hak-hak politik secara menyeluruh. Kedua, presiden yang secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi dictator. Ketiga, dengan maklumat Wakil Presiden, maka dimungkinkan terbentuknya sejumlah partai politik yang kemudian menjadi peletak dasar bagi system kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan politik kita.

b.Demokrasi parlementer (1950-1959)
Masa demokrasi parlementer merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena hamper semua elemen demokrasi dapat kita temukan perwujudannya dalam kehidupan politik di Indonesia.
Pertama, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranam yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan.
Kedua, akuntabilitas (pertanggungjawaban) pemegang jabatan dan politis pada umumnya sangat tinggi.
Ketiga, kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh pelung yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal.
Keempat, sekalipun Pemilihan Umum hanya dilaksanakan satu kali yaitu pada 1955, tetapi Pemikihan Umum tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi.
Kelima, masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua warga Negara dapat memanfaatkannya dengan maksimal.
Keenam, dakam masa pemerintahan Parlementer, daerah-daerah memperoleh otonomi yang cukup bahkan otonomi yamg seluas-luasnya dengan asas desentralisasi sebagai landasan untuk berpijak dalam mengatur hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa demokrasi perlementer mengalami kegagalan?. Banyak sekali para ahli mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Dari sekian banyak jawaban, ada beberapa hal yang dinilai tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut.Pertama, munculnya usulan presiden yang dikenal dengan konsepsi presiden untuk membentuk pemerintahan yang bersifat gotong-royong.
Kedua, Dewan Konstituante mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan merumuskan ideologi nasional.
Ketiga, dominannya politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan konflik.
Keempat, Basis social ekonomi yang masih sangat lemah.
c.Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Demokrasi terpimpin merupakan pembalikan total dari proses politik yang berjalan pada masa demokrasi perlementer.
Pertama, mengburnya system kepartaian.
Kedua,dengan terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong,peranan lembaga legislative dalam system politik nasional menjadi sedemikian lemah.
Ketiga, Hak dasar manusia menjadi sangat lemah.
Keempat, masa demokrasi terpimpin adalah masa puncak dari semangat anti kebebasan pers.
Kelima, sentralisasi kekuasaan yang semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah.
d.Demokrasi pada masa Orde Baru (1966-1998)
Pertama, rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hamper ridak pernah terjadi.
Kedua, rekruitmen politik bersifat tertutup.
Ketiga, Pemilihan Umum.
Keempat, pelaksanaan hak dasar waega Negara.
e.Demokrasi pada masa Reformasi (1998 sampai dengan sekarang)
Dalam masa pemerintahan Habibie inilah muncul beberapa indicator kedemokrasian di Indonesia.Pertama, diberikannya ruang kebebasan pers sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan.
Kedua, diberlakunya system multi partai dalam pemilu tahun 1999.
Demokrasi yang diterapkan Negara kita pada era reformsi ini adalah demokresi Pancasila, tentu saja dengan karakteristik tang berbeda dengan orde baru dan sedikit mirip dengan demokrasi perlementer tahun 1950-1959.Pertama, Pemilu yang dilaksanakan (1999-2004) jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya.
Kedua, ritasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampi pada tingkat desa.
Ketiga, pola rekruitmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka.
Keempat, sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan pendapat, kenenasan pers, dan sebagainya.

3.Pemilihan Umum
a.Pengertian Pemilihan Umum
Salah satu cirri Negara demokratis debawa rule of law adalah terselenggaranya kegiatan pemilihan umum yang bebas. Pemilihan umum merupakan sarana politik untuk mewujudkan kehendak rakyat dalam hal memilih wakil-wakil mereka di lembaga legislatif serta memilih pemegang kekuasaan eksekutif baik itu presiden/wakil presiden maupun kepala daerah.
Pemilihan umumbagi suatu Negara demokrasi berkedudukan sebagai sarana untuk menyalurkan hak asasi politik rakyat. Prmilihan umum memiliki arti penring sebagai berikut:
1)Untuk mendukung atau mengubah personel dalam lembaga legislative.
2)Membentuk dukungan yang mayoritas rakyat dalam menentukan pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka tertentu.
3)Rakyat melalui perwakilannya secara berkala dapat mengoreksi atau mengawasi kekuatan eksekutif.

b.Tujuan Pemilihan Umum
Pada pemerintahan yang demokratis, pemilihan umum merupakan pesta demokrasi. Secara umum tujuan pemilihan umum adalah
1)Melaksanakan kedaulatan rakyat
2)Sebagai perwujudan hak asas politik rakyat
3)Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif serta memilih Presiden dan wakil Presiden.
4)Melaksanakan pergantian personel pemerintahan secara aman, damai, dan tertib.
5)Menjamin kesinambungan pembangunan nasional

Menurut Ramlan Surbakti, kegiatan pemilihan umum berkedudukan sabagai :
1)Mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin dan alternatif kebijakan umum
2)Makanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat ke lembagag-lembaga perwakilan melalui wakil rakyat yang terpilih, sehingga integrasi masyarakat tetap terjaga.
3)Sarana untuk memobilisasikan dukungan rakyat terhadap Negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.

Dari berbagai sumber

PENELITIAN EKSPERIMEN

Oleh : Prof. Supardi

A. PENDAHULUAN

Setiap guru yang telah senior merasakan bahwa kenaikan pangkat dari IIIa ke Pembina/IVa sangat mudah, cepat dan lancar tanpa dituntut persyaratan yang dapat memberatkan guru, akibatnya sangat banyak guru yang menduduki pangkat/jabatan tersebut. Sedangkan untuk menduduki Pembina Tk.I/gol. IVb harus mempunyai nilai kredit pengembangan profesi. Mengapa banyak guru Pembina/gol. IVa usulan kenaikan pangkatnya banyak yang belum berhasil? Karena karya ilmiah (KTI) yang diusulkan belum memenuhi syarat, antara lain: (a)banyak KTI yang tidak asli, jiplakan, bukan buatan sendiri, (b) KTInya berisi uraian yang terlalu umum, tidak berkaitan dengan permasalahan atau kegiatan nyata yang dilakukan guru dalam mengembangakan rofesinya, (c) sistematika tulisannya tidak mengikuti sistematika karya ilmiah.
Apakah untuk naik ke Pembina Tk I/IVb melalui pengembangan profesi sangat berat? Sebenarnya tidak asalkan mau berusaha, belajar, dan menulis sesuai dengan profesinya sebagai guru. Apakah KTI merupakan satu-satunya kegiatan pengembangan profesi? Tidak, KTI bukan merupakan satu-satunya kegiatan pengembangan profesi guru. Namun, karena berbagai alasan yang antara lain belum jelasnya petunjuk operasional pelaksanaan dan penilaian dari kegiatan selain KTI, maka kegiatan pengembangan profesi sebagian terbesar dilakukan melalui KTI. Apa saja jenis KTI itu? KTI itu ada 7 jenis, yaitu penelitian, kajian ilmiah hasil gagasan sendiri, ilmiah populer, makalah seminar, Buku pelajaran/modul, diktat pelajaran, dan Hasil terjemahan. Dari ketujuh jenis KTI itu,hasil penelitian yang mempunyai nilai kredit tertinggi, maka guru cenderung memilih jenis ini untuk kenaikan pangkatnya walaupun banyak yang belum
menguasai cara/metode penelitiannya.
Sebagai contoh; ada seorang guru menghadapi masalah proses pembelajaran di klas: siswa sulit memahami pokok bahasan pada pelajaran tertentu, sebagian besar siswa prestasi belajarnya rendah, tidak berani mengeluarkan pendapat, dan motivasi/minat belajar kurang. Timbul pertanyaan pernahkah guru mencari upaya untuk mengatasinya? Apa yang harus dilakukan guru? Apa tidak perlu dicari akar masalahnya? Apa guru tetap mengajar seperti biasanya dan masalah itu diabaikan? Tentunya tidak, dan ternyata umumnya guru sudah berupaya untuk mengatasinya dengan berbagai cara/metode/pendekatan melalui perubahan cara mengajar seperti metode/pendekatan CTL (Contextual Teaching Learning), Quantum learing, cooperative learning, tutor sebaya, local material learning, dan lain-lain. Hasilnya menunjuk kan ada perubahan ke arah perbaikan Hal ini memberi gambaran bahwa guru tersebut sudah melakukan kegiatan
pengembangan profesi, namun belum ditulis secara sistematis sehingga tidak punya bukti untuk diusulkan kenaikan pangkat melalui pengembangan profesi.
Ada pula guru yang sepulang mengikuti Diklat, langsung mencoba metode mengajar yang baru saja diperolehnya, dan hasilnya memberikan kepuasan baik prestasi belajar, suasana belajar maupun keberanian bertanya, dan menambah percaya diri guru. Guru tersebut sudah melakukan kegiatan ilmiah, sudah melaksanakan pengembangan profesiya, namun lagi-lagi tidak ada bukti tertulis yang terdokumensi yang harus disampaikan waktu akan mengusulkan kenaikan pangkat.
Pada waktu melihat prestasi siswanya rendah guru sudah berpikir bagaimana cara mengatasinya. Untuk itu, berdasarkan hasil diklat yang diikutinya, mereka ingin mencoba menerapkan melalui penelitian. Apakah hasil belajar siswa yang diajar dengan metode belajar yang selama ini dilakukan lebih jelek dibandingkan dengan metode baru yang diperoleh waktu diklat. Untuk mencoba guru tersebut tidak memahami jenis penelitian apa yang tepat digunakan untuk mengatasi masalah itu? Guru belum semua menguasai berbagai jenis penelitian. Jenis penelitian yang sering digunakan guru dalam mengatasi masalah pembelajaran adalah penelitian tindakan kelas, penelitian deskriptif, penelitian korelasional, dan penelitian eksperimen. Jenis pendekatan penelitian yang paling tepat untuk merealisasi kegiatan guru dalam membandingkan dua metode pembelajaran terhadap hasil belajar adalah melalui penelitian eksperimen.
Apakah penelitian eksperimen itu? Apa tujuannya? Bagaimana cara melakukan yang benar? Bagaimana menulis laporan hasil penelitiannya agar memenuhi syarat dan dapat nilai kreditnya?. Marilah kita belajar bersama untuk memahami dan kemudian melaksanakan secara hati-hati dan terarah.
Penelitian eksperimen (Experimental Research) merupakan kegiatan penelitian yang bertujuan untuk menilai pengaruh suatu perlakuan/tindakan/treatment pendidikan terhadap tingkah laku siswa ata menguji hipotesis tentang adatidaknya pengaruh tindakan itu bila dibandingkan dengan tindakan lain.
Berdasarkan hal tersebut maka tujuan umum penelitian eksperimen adalah untuk meneliti pengaruh dari suatu perlakuan tertentu terhadap gejala suatu kelompok tertentu dibanding dengan kelompok lain yang menggunakan perlakuan yang berbeda. Misalnya, suatu eksperimen dimaksudkan untuk menilai/membuktikan pengaruh perlakuan pendidikan (pembelajaran dengan metode pemecahan soal) terhadap prestasi belajar matematika pada siswa SMU atau untuk menguji hipotesis tentang ada-tidaknya pengaruh perlakuan tersebut bila dibandingkan dengan metode pemahaman konsep. Tindakan di dalam eksperimen disebut treatment, dan diartikan sebagai semua tindakan, semua variasi atau pemberian kondisi yang akan dinilai/diketahui pengaruhnya. Sedangkan yang dimaksud dengan menilai tidak terbatas pada mengukur atau melakukan deskripsi atas pengaruh treatment yang dicobakan tetapi juga ingin menguji sampai seberapa
besar tingkat signifikansinya (kebermaknaan atau berarti tidaknya) pengaruh tersebut bila dibandingkan dengan kelompok yang sama tetapi diberi perlakuan yang berbeda.
Apakah perlu kelompok pembanding? Marilah kita renungkan jawaban ini.
Proses yang disebabkan oleh satu macam tindakan/perlakuan, kita tidak pernah dapat menyatakan bahwa tindakan dan proses itu menghasilkan sesuatu yang lebih baik, kurang baik, dan kita baru dapat menyatakan kalau sudah dibandingkan dengan yang lain. Dari suatu tindakan kita hanya dapat menyatakan bahwa proses begini dan begitu itu akan menimbulkan gejala yang begini atau begitu. Gejala itu baru dapat dikatakan lebih baik jika gejala lain jadi ukuran sebagai pembanding. Karena itu dalam suatu eksperimen ilmiah dituntut sedikitnya dua grup, yang satu ditugaskan sebagai grup pembanding (control group), sedang grup yang satu lagi sebagai grup yang dibandingkan
(experimental group).
Bagaimana cara melaksanakan jenis penelitian eksperimen ini ?. Untuk melaksanakan suatu eksperimen yang baik, kita perlu memahami terlebih dahulu segala sesuatu yang berkait dengan komponen-komponen eksperimen. Baik yang berkaitan dengan pola-pola eksperimen (design experimental), maupun penentuan kelompok eksperimen dan kontrol, bagaimana kondisi kedua kelompok sebelum eksperimen dilaksanakan, cara pelaksanaannya, kesesatankesesatan yang dapat mempengaruhi hasil eksperimen, cara pengumpulan data,dan teknik analisis statistik yang tepat digunakan. Hal itu semua, para guru dapat mempelajari, mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan penelitian itu,
tanpa meninggalkan tugas sehari-hari di kelas.

B. MEMPERSIAPKAN EKSPERIMEN
Marilah kita mempersiapkan penelitian eksperimen secara baik. Sebelum peneliti
melaksanakan treatment/perlakuan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Sebagai ilustrasi seorang guru akan mengadakan percobaan tentang keampuhan dua metode mengajar dalam bidang Matematika, Mana di antara dua macam metode yang dapat memberikan prestasi belajar lebih baik (metode pemahaman konsep atau metode pemecahan soal). Karena, ditemukan selama guru menggunakan metode pemahaman konsep prestasi belajar siswanya belum menggembirakan.
1. Langkah awal dijumpai ada problem terhadap prestasi belajar matematika yang selama ini diajarkan melalui metode pemahaman konsep. Seorang guru matematika waktu mengikuti diklat mendapat metode baru yaitu metode pemecahan soal“ muncul ertanyaan: manakah di antara dua metode pembelajaran Matematika yang dapat menumbuhkan prestasi
belajar lebih baik?.
2. Tujuannya: Untuk mengetahui apakah metode pemecahan soal lebih dalam mengembangkan kecakapan matematika dibandingkan dengan pemahaman konsep (Untuk mengetahui pengaruh metode pemecahan soal terhadap prestasi belajar matematika). Guru juga dapat mengetahui sikap siswa terhadap metode pembelajaran tersebut.
3. Langkah berikutnya, mencari dasar teori yang berkaitan dengan variabel penelitian (metode pembelajaran pemecahan soal dan pemahaman konsep, serta prestasi belajar). Diupayakan adanya kerangka pemikiran yang mengarah pada simpulan bahwa metode pemecahan soal lebih baik dalam menanamkan pemahaman matematika dibandingkan dengan
metode pemahaman konsep.
4. Selanjutnya, perlu dikemukakan hipotesisnya: “Metode pemecahan soal lebih baik dibandingkan metode pemahaman konsep dalam meningkatkan prestasi belajar matematika”. Hipotesis ini diperlukan untuk pedoman peneliti dalam merancang lebih lanjut..
5. Langkah awal bagian metode penelitian adalah melakukan pengukuran kepada dua kelompok yang siswanya mempunyai kesamaan kemampuan /IQ dalam matematika. Dari dua kelompok yang sudah kesamaan itu dipilih secara random untuk menentukan mana kelompok kontrol dan mana yang akan ditugaskan sebagai kelompok eksperimen.
6. Menentukan siapa guru yang akan ditugasi untuk mengajar pada masing masing kelopok tersebut. Bilamana telah mendapatkan guru yang memiliki kualitas yang sama, dipilih secara random untuk ditugaskan ke kelompok eksperimen/kontrol. Kalau gurunya sama/satu orang, wajib menjaga obyektivitas dalam menerapkan kedua metode tersebut.
7. Persiapkan materi ajar dan rincian tindakan yang akan dilakukan pada metode yang telah ditetapkan untuk kedua kelompok tersebut. Sesudah memahami langkah-langkah tersebut, kita perlu melihat kembali hal hal mendasar yang perlu diperhatikan sebelum eksperimen dilakukan. Kalau semua komponen tersebut sudah dipersiapkan dengan baik dan lengkap barulah mencoba menyusun rancangan/desain eksperimennya.

C. FAKTOR YANG PERLU DIKONTROL
Sebelum eksperimen dilaksanakan ada berbagai faktor, variable, serta kondisi apa saja yang berkaitan dengan kegiatan eksperimen perlu diperhatikan. Hal ini untuk mengantisipasi adanya perbedaan sesudah eksperimen itu benarbenar disebabkan oleh metode bukan karena faktor lain. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut :
a) Latar belakang kebudayaan. Pelajar yang mempunyai kebudayaan yang berbeda besar kemungkinan mempunyai sifat dan kebiasaan yang berbeda pula. Untuk itu perlu diperhatian agar adanya perbedaan bukan karena faktor ini tetapi faktor metode mengajarnya. Ada siswa yang setiap hari selalu belajar bersama dengan kakak-kakaknya, mengikuti pelajaran tambahan setiap sore.
b) Dasar matematika; Sebelum eksperimen dimulai siswa masing-masing kelas/kelompok perlu diseimbangkan agar tidak terjadi salah satu kelas terdiri atas siswa yang pandai sedang lainnya terdiri atas siswa yang sedang dan kurang pandai. Sehingga adanya perbedaan hasil akhir eksperimen bukan disebabkan oleh metode mengajar tetapi oleh kondisi siswa yang berbeda.
c) Ruangan kelas. Ruangan kelas kedua calon kelompok eksperimen dan control itu harus dibuat sedemikian sehingga tidak ada perbedaan kebisingan, kepengapan, ventilasi, serta tata ruang lainnya.
d) Waktu belajar: Perlu diperhatikan waktu berlangsungnya jam pelajaran, tidak diperkenankan kelompok eksperimen (E) masuk pagi kelompok control (K) masuk sore atau sebaliknya.Jika kelas E masuk pagi, kelas K harus masuk pagi, kalau kelas E masuk jam 8.00 kelas K tidak boleh masuk jam 12.00, sehingga hasil eksperimen dikotori oleh faktor masuk sekolah. Jumlah jam kedua kelas/kelompok harus sama
e) Cara mengajar : Metode-metode yang akan dicobakan harus ditetapkan dan dirancang lebih dahulu serta dijalankan secara tertib dan benar. Cara guru mengajar harus sesuai dengan pola yang ditetapkan dalam desain eksperimen yang dipersiapkan.
f) Guru/pengajar : Latar belakang pendidikan, serta pengalaman mengajar di upayakan mempunyai derajat yang seimbang. Demikian tingkat kedisiplinan maupun kemampuannya.
g) Lain-lain : walaupun peneliti sudah berupaya mengendalikan variable non eksperimen agar tidak memengaruhi hasil eksperimen, namun sering dijumpai adanya kejadian yang sulit dikontrol dan diprediksi, misalnya: tiba-tiba dijumpai adanya anak yang suka mengganggu jalannya pelajaran, sehingga memengaruhi temannya untuk tidak disiplin, atau terganggu konsentrasinya akibat ulah satu atau beberapa temannya. Dapat terjadi pula adanya pemberian bimbingan belajar di luar jam pelajaran, baik oleh anggota keluarga atau yang lain..
Perlu disadari bahwa sebenarnya banyak sekali faktor yang mungkin dapat berpengaruh terhadap eksperimen. Oleh karena itu, peneliti eksperimen perlu hati-hati pada setiap langkah agar selalu memperhatikan adanya kemungkinan timbulnya kesesatan, dan ada upaya untuk mengendalikan.

D. KESESATAN DALAM EKSPERIMEN
Segala sesuatu yang berkaitan dengan kondisi, keadaan, faktor, perlakuan, atau tindakan yang diperkirakan dapat memengaruhi hasil eksperimen disebut variable. Dalam eksperimen selalu dibedakan adanya variable-variabel yang berkaitan secara langsung diberlakukan untuk mengetahui suatu keadaan tertentu dan diharapkan mendapatkan dampak/akibat dari eksperimen sering disebut variabel eksperimental atau treatment variable, dan variable yang tidak dengan sengaja dilakukan tetapi dapat memengaruhi hasil eksperimen disebut variabel noneksperimental. Variabel eksperimental adalah kondisi yang hendak diteliti bagaimana pengaruhnya terhadap suatu gejala. Untuk mengetahui pengaruh varibel itu, kedua kelompok , yaitu kelompok
eksperimental dan kontrol dikenakan variabel eksperimen yang berbeda (misalnya metode pemecahan soal untuk kelompok eksperimen dan metode pemahaman konsep untuk kelompok control) atau yang bervariasi. Variabel noneksperimental sebagian dapat dikontrol, baik untuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Ini disebut variabel yang dikontrol atau controlled variabel. Akan tetapi sebagian lagi dari variabel noneksperimen ada di luar kekuasaan eksperimen untuk dikontrol atau
dikendalikan. Ini disebut variabel ekstrane atau extraneous variabel. Dalam setiap eksperimen, hasil yang berbeda pada kelompok eksperimen dan kontrol sebagian disebabkan oleh variabel eksperimental dan sebagian lagi karena pengaruh variabel ekstrane. Oleh karena itu, setiap guru yang akan melakukan eksperimen harus memprediksi akan munculnya variabel pengganggu ini. Adanya perbedaan hasil eksperimen yang dilakukan oleh peneliti/guru/pengawas dari kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, bukan secara mutlak disebabkan tindakan yang diberikan, tetapi sebagian lagi karena adanya variable luar/ekstrane yang ikut memengaruhinya. Besar kecilnya pengaruh variable ekstrane yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan
dengan yang diobservasi dalam hasil eksperimen disebut kesesatan atau errors. Dalam eksperimen dapat dijumpai adanya dua jenis kesesatan yaitu :
(1) Kesesatan konstan, dan (2) Kesesatan tidak konstan (kesesatan kompensatoris). Kesesatan konstan merupakan pengaruh akibat variable ekstrane, yang selalu ada dalam setiap eksperimen. Variabel ini tidak dapat diketahui, tidak dapat diukur dan sulit untuk dikendalikan, serta tidak mudah untuk diperhitungkan dan dipisahkan dengan perbedaan hasil yang ditimbulkan oleh variable eksperimen. Sebagai contoh dari kesesatan konstan adalah sebagai berikut:
Suatu penelitian eksperimen dilakukan untuk mengetahui pengaruh suatu metode (pemecahan soal) terhadap prestasi belajar matematika. Prosedur eksperimen telah dilaksanakan sesuai dengan metodologis yang benar, maka peneliti berkeyakinan bahwa adanya perbedaan hasil belajar siswa nanti secara mutlak dipengaruhi oleh baiknya metode yang dilakukan. Ia tidak menyadari adanya berbagai variable yang mungkin dapat mengganggu proses dan hasil eksperimen. Variabel pengganggu kesesatan konstan; misalnya pada kelompok kontrol terdapat anak-anak/siswa yang pada sore hari ikut
pelajaran tambahan/privat. Di samping itu, banyak orang tua/keluarga yang peduli sekali terhadap waktu dan kedisiplinan belajar anaknya, sehingga anak itu selalu diawasi orang tuanya. Ditinjau dari segi guru yang mengajar di kelompok kontrol mempunyai kecakapan mengajar, penguasaan bahan ajar, kepribadian, dan pendekatan kepada siswa sangat bagus. Alat untuk mengukur kemampuan siswa baru mampu mengukur sebagian dari kecakapan dan materi yang diajarkan. Variabel-variabel tersebut merupakan variable luar/ekstrane yang sulit diperhitungkan, sulit dikendalikan, sehingga disinilah muncul adanya kesesatan konstan.
Dengan adanya kesesatan itu, akibatnya setelah data akhir eksperimen diperoleh dan dianalisis terjadi tidak adanya perbedaan antara hasil belajar matematika bagi siswa kelompok eksperimen yang diberi perlakukan metode A (pemecahan soal) dengan kelompok kontrol yang menggunakan metode B (pemahaman konsep). Mengapa hal ini terjadi ? Pada hal secara teori jelas bahwa metode pemecahan soal lebih baik dibandingkan dengan metode pemahaman konsep. Apa jawabannya? Hal ini terjadi karena banyaknya variabel luar/ekstrane yang muncul pada suatu kelompok tertentu pada saat waktu pelaksanaan eksperimen. Jadi hasil belajar pada siswa kelompok kontrol telah dicemar oleh varibel ekstrane yang peneliti tidak mampu memperhitungkan. Pada hal kalau eksperimen berjalan dengan mulus tanpa banyak dipengaruhi variable yang menyesatkan, besar kemungkinan metode yang dicobakan pada kelompok eksperimen akan mampu memberikan hasil belajar yang lebih baik.
Kemudian, tindakan apa yang sebaiknya dilakukan guru yang akan melakukan eksperimen? Perlu mempersiapkan secara maksimal berbagai komponen yang berkaitan dengan metode yang akan dieksperimenkan pada bidang materi pelajaran tertentu, baik yang berkaitan dengan metode pembelajaran yang akan ditreatmenkan/diperlakukan, materi pelajaran, guru pelakasana tindakan, siswa yang dikenai tindakan, kondisi/situasi kelas,lingkungan belajar, maupun komponen lain yang mungkin dapat memengaruhi hasil
eksperimen. Selama proses kegiatan ekperimen berlangsung, peneliti perlu memperhatikan adanya variabel lain yang dimungkinkan akan dapat mengganggu. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi munculnya variabel luar yang dapat menyesatkan hasil eksperimen.
Kemudian, apa yang dimaksud dengan kesesatan tidak konstan itu? Kesesatan tidak konstan adalah kesesatan yang terjadi pada satu atau beberapa kelompok dalam suatu eksperimen, tetapi tidak terjadi pada satu kelompok lain. Kesesatan pada jenis ini ada kemungkinan untuk dapat diperhatikan atau dikendalikan pada waktu mempersiapkan eksperimen, atau menentukan pola eksperimen. Kesesatan tipe ini dapat dibedakan kedalam tiga jenis, yaitu:
1). Kesesatan tipe S (Subyek).
2). Kesesatan tipe G (Grup), dan
3). Kesesatan tipe R (Replikasi).
Untuk mendapatkn pemahaman tentang beberpa tipe kesesatan tersebut di atas
berikut ini disampaikan penjelasan singkatnya.
1) Kesesaatan Tipe S
Ciri khusus dari kesesatan adalah adanya fluktuasi subjeks sampling pada suatu penugasan subjek ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok pembanding/kontrol pada suatu eksperimen. Kejadian ini kemungkinan muncul karena dalam salah satu atau kedua kelompok itu terhimpun beberapa orang dalam segi perimbangan menguntungkan salah satu dari kelompok. Misalnya, dalam suatu eksperimen yang ingin diketahui pengaruh metode terhadap hasil belajar matematika pada suatu kelas di sekolah dasar, mungkin sekali secara kebetulan pada kelas pembanding terhimpun siswa yang memiliki IQ yang tinggi dan rajin belajar.Setelah proses eksperimen berakhir, diadakan tes kepada kedua kedua kelompok secara bersamaan. Setelah diadakan analisis statistik dengan menggunakan uji t diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh antara
metode A dan metode B terhadap hasil belajar matematika pada siswa kelas tertentu pada SD tersebut. Mengapa demikian? Hal ini dapat disebabkan hasil belajar dari kedua kelompok eksperimen (kontrol dan eksperimen) bukan disebabkan oleh pengaruh metode, tetapi karena adanya perbedaan subyek (S) yang ditugasi pada kedua kelompok
tersebut. Maka dalam pelaksanaan eksperimen, distribusi subyek yang akan ditugasi pada kelompok-kelompok eksperimen harus diseimbangkan, hal ini agar mendapatkan perhatian bagi para peneliti eksperimen pembelajaran.
2) Kesesatan Tipe G
Pada suatu eksperimen dapat terjadi adanya variabel-variabel luar yang mempengaruhi satu atau beberapa kelompok siswa dalam suatu kegiatan eksperimen, tetapi tidak menyangkut seluruh kelompok yang digunakan.
Dalam suatu eksperimen bidang pembelajaran seorang guru yang ditugasi untuk mengajar dengan metode CTL (eksperimen), sedemikian baiknya sehingga memberikan pengaruh yang sangat sistematis terhadap prestasi belajar siswa, dan sebaliknya di kelas lain, diajar oleh guru yang kurang mempunyai motivasi mengajar, kurang menguasai bahan ajar, dan bahkan kurang disiplin. Demikian pula kalau dalam suatu kelompok eksperimen
terdapat siswa yang nakal, dan sering mengganggu teman waktu pelajaran sedang berlangsung, akan mempengaruhi hasil eksperimen pada kelas tersebut. Kalau hal ini terjadi maka kesesatan tipe G telah memengaruhi eksperimen, dan hasil eksperimen tersebut akan tercemari.
3) Kesesatan Tipe R
Ada pola eksperimen yang dilakukan terhadap beberapa eksperimen yang dilakukan secara serentak dengan menggunakan sample dari bermacammacam sub-populasi. Pada eksperimen tersebut disebut Replikasi. Berdasarkan pada istilah inilah kesesatan tipe R ini muncul.
Pada eksperimen-eksperimen yang menggunakan metode mengajar yang dilakukan beberapa kali umumnya dikerjakan seorang guru. Akan tetapi, guru lain juga dapat mereplika (mengulangi dalam keadaan yang sama) setelah memahami apa yang dilakukan oleh guru sebelumnya. Kesesatan tipe R ini terjadi bilamana variabel luar memberikan pengaruh secara sistematis terhadap satu replikasi, tetapi tidak memberikan pengaruh pada
replikasi yang lain. Metode mengajar yang pernah diberikan sebelumnya mungkin memberikan landasan yang sangat menguntungkan bagi metode yang sedang dicobakan, dan tidak demikian halnya yang ada pada kondisi sebaliknya. Metode yang akan dicobakan ternyata sudah biasa diberikan, sehingga siswa pada sekolah itu akan mendapatkan prestasi belajar yang lebih baik daripada sekiranya mereka diajarkan dengan metode lain. Kalau eksperimen ini dilaksanakan pada suatu sekolah, maka perbedaan pengaruh variabel yang diobservasi dapat dianggap bebas dari kesesatan R itu. Tetapi kalau ditinjau dari segi banyaknya replikasi pada suatu eksperimen yang diadakan di beberapa sekolah, mungkin terjadi kesesatan tipe ini dan berpengaruh terhadap rerata dari variabel yang dieksperimenkan.
E PELAKSANAAN EKSPERIMEN
Sesudah mempersiapkan desain/rancangan eksperimen serta berusaha mengantisipasi berbagai kesesatan yang mungkin dapat mengganggu pelaksanaan dan hasil eksperimen, maka apa yang harus dilakukan agar eksperimen terssebut dapat berjalan dengan baik? Namun, sebelum kepelaksanaannya perlu dikaji ulang, apakah materi yang akan diajarkan sudah disiapkan dengan baik? Apakah kedua kelompok eksperimen sudah dipersiapkan sesuai prosedur penelitian eksperimen? Dan, guru yang akan melaksanakan sudah dipersiapkan secara memadai dan memiliki kualitas yang seimbang? Kalau semuanya sudah dikaji barulah kita memperhatikan langkah berikut ini:
1. Selama 4 bulan (kalau ini rencana eksperimennya) kelompok A sebagai kelompok eksperimen diberikan materi yang sama dengan kelompok kontrol. Sedangkan metode pembelajaran yang digunakan berbeda. Kelompok A dengan metode pemecahan soal, sedangkan kelompok B dengan metode pemahaman konsep (umpama ini yang direncanakan).
2. Selama pelaksanaan eksperimen diupayakan semaksimal mungkin agar kesesatan tidak timbul terutama kesesatan yang tidak konstan, baik siswa maupun guru pelaksana, agar tidak mengganggu hasil eksperimen.
3. Selama eksperimen perlu diamati semua perubahan yang terjadi berdasarkan pedoman observasi yang telah dipersiapkan, misalnya aspek perhatian siswa, keberanian siswa berpendapat, kondisi kelas, kedisiplinan siswa dan lain-lain.
4. Sesudah waktu eksperimen selesai (sesudah 4 bulan), diadakan tes akhir eksperimen. Jenis tes, materi tes serta waktu pelaksanaan tes yang diberikan pada kelompok eksperimen dan kontrol harus sama.
5. Sesudah data dikoreksi dan dianggap lengkap, ditabulasi dan diskripsikan
sesuai dengan tujuan penelitian. Data yang sudah disusun dari kedua kelompok tersebut dianalisis dengan statistik uji t. Kalau kesimpulan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan, maka perlu dilihat mana Meannya yang lebih besar itulah yang lebih efektif/baik. Kalau Mean pada kelompok eksperimen lebih baik, maka dapat disimpulkan bahwa metode pemecahan soal lebih efektif dalam upaya meningkatkan prestasi belajar matematika yang berarti hipotesis kerjanya diterima.
Bagaimana kalau hasil eksperimen ternyata menolak hipotesis kerja?
Apakah penelitian itu kemudian tidak berarti dan tidak dapat diajukan untuk mendapatkan kredit pengembangan profesi? Kalau diajukan apakah tidak dapat dinilai sehingga hasil penelitian itu tidak bermanfaat? Kita tidak bisa langsung menjawab ya atau tidak. Perlu dikaji secara hati-hati dengan menggunakan dasar berpikir ilmiah/logika. Coba marilah kita diperhatikan beberapa asumsi berikut untuk direnungkan:
1) Dasar penyusunan hipotesis apakah sudah menggunakan dasar teori serta
temuan ilmiah yang relevan? Jawabannya sudah, kalau sudah kita ke alur berikutnya.
2) Bilamana riset itu merupakan penelitian eksperimen, apakah persiapan eksperimen sudah dilakukan secara ilmiah menurut dasar-dasar penelitian eksperimen? Jawabannya sudah; baik yang menyangkut penetapan kedua kelompok kontrol dan eksperimen), maupun penetapan pelaksana eksperimen. Kalau sudah, marilah ke pertanyaan berikutnya.
3) Kalau demikian, apakah kondisi-kondisi pada kedua kelompok eksperimen tersebut sudah diperhatikan dengan baik dan seimbang? Jawabannya sudah, waktu masuk sekolah, lingkungan kelas, peralatan/ alat peraga serta bahan ajar yang akan diberikan dan komponen lain yang terkait. Kalau demikian perlu kita lanjut ke pertanyaan selanjutnya.
4) Penyebabnya ada kemungkinan peneliti kurang memperhatikan adanya kesesatan tidak konstan yang ditimbulkan dari berbagai aspek, misalnya adanya siswa yang sering mengganggu salah satu kelompok eksperimen, atau adanya tindakan guru pelaksana eksperimen/kontrol yang kurang serius dalam bertugas, atau di suatu kelas terhimpun siswa yang memiliki dasar kuat yang berkaitan dengan materi pelajaran yang dieksperimenkan.
Misalnya pelajaran matematika, di suatu kelas terhimpun siswa yang IQnya bagus-bagus dan tidak demikian pada kelas yang lain. Kalau hal ini jawabannya tidak dan masalah itu sudah diperhatikan serta sudah dilaksanakan guru pelaku eksperimen/peneliti, maka peneliti perlu mengajukan pertanyaan berikutnya.
5) Kemungkinan peneliti waktu menyusun alat evaluasi belajar hasil eksperimen tidak memperhatikan tingkat validitas dan reliabilitasnya. Artinya ketepatan dan ketelitian alat evaluasinya tidak terpenuhi, atau tingkat keterandalannya belum diperhatikan, belum mencakup seluruh materi pelajaran. Atau, waktu pelaksanaan evaluasi/tes akhir tidak dilakukan bersamaan, sehingga siswa pada salah satu kelas mendapatkan bocoran dari kelas lain. Kalau jawabannya juga tidak, maka lanjutkan ke
pertanyaan yang ke-6.
6) Jika demikian ada kemungkinan cara analisis datanya tidak tepat, tidak mengikuti teknik analisis statistik eksperimen sesuai dengan pola yang digunakan. Mulai koreksi hasil post test/evaluasi akhir, tabulasi sampai penggunaan pada analisis dengan teknik statistiknya harus benar, kesalahan tanda koma saja dapat mengakibatkan dari ada perbedaan menjadi tidak ada atau sebaliknya. Bilamana hal ini juga sudah dilakasanakan dengan statistik dan prosedur analisis yang tepat dan
hati-hati oleh peneliti. maka tinggal kemungkinan/ alternative atau asumsi terakhir.
7) Kalau keenam hal di atas sudah dilaksanakan dengan baik, hati-hati dan juga tidak melakukan penyimpangan, maka kemungkinan terakhir yaitu adanya kesesatan konstan yang tidak mungkin peneliti mampu untuk mengatasi/ menghilangkan, tetapi peneliti juga tidak mencoba mengurangi kesesatan ini Kondisi itu misalnya, pada salah satu kelompok sebagian besar siswa pada sore hari mengikuti les tambahan, banyak dibimbing
saudara/orang tuanya pada malam hari, budaya disiplin belajar telah tertanam pada sebagian siswa, alat/media belajar lengkap atau sebaliknya pada kelompok lain banyak anak yang malas belajar dan faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap hasil belajar.
Untuk itu, bilamana hasil penelitiannya menolak hipotesis dan peneliti mampu memberi alasan/bahasan yang logis dan argumentasi yang jelas, dan kuat maka hasil penelitian tersebut tetap dapat diajukan dan bahkan mungkin mempunyai nilai/kredit atau dapat diusulkan/diajukan untuk kenaikan jabatan/ pangkat pengembangan profesi. Justru kalau hasil penelitian menolak, hipotesisnya dibangun dengan mempunyai dasar kuat dan data lapangan yang dihasilkan secara faktual memang mendukung adanya, maka akan dapat menumbuhkan pemikiran baru, konsep baru yang dapat mengarah ke pembentukan teori baru kalau penelitian lanjutan untuk memperkuat hasil penelitian tersebut dilakukan. Akibatnya, diperolehnya konsep baru, preposisi baru akan dapat mengembangkan teori baru dan meninggalkan teori lama. Memang jarang dijumpai adanya peneliti yang demikian atau peneliti tidak berani menyampaikan hasil penelitiannya bilamana hasil analisis tidak menerima hipotesis kerjanya, karena peneliti belum mampu memberikan alasan yang mendasar atas ditolaknya hipotesis tersebut.
Sesudah memahami bagaimana mempersiapkan/menyusun rancangan eksperimen, melaksanakan serta faktor apa yang harus dikendalikan agar tidak mengganggu hasil eksperimen, perlu mempelajari beberapa jenis eksperimen mana yang paling sesuai bagi guru yang akan mencoba metode pembelajaran dalam upaya memperbaiki hasil belajar siswa. Dipersilahkan membaca bagian selanjutnya.
F. DESAIN EKSPERIMEN
Apakah desain eksperimen itu? Desain eksperimen adalah suatu rancangan percobaan dengan setiap langkah tindakan yang terdefinisikan, sehingga informasi yang berhubungan dengan atau diperlukan untuk persoalan yang akan diteliti dapat dikumpulkan secara faktual. Dengan kata lain, desain sebuah eksperimen merupakan langka-langkah lengkap yang perlu diambil jauh sebelum eksperimen dilakukan agar data yang semestinya diperlukan dapat diperoleh sehingga akan membawa ke analisis obyektif dan kesimpulan yang berlaku dan tepat menjawab persoalan yang dibahas.
Untuk meneliti pengaruh metode pemecahan soal terhadap prestasi belajar matematika, misalnya, maka perlu dipersiapkan rancangan/proposal penelitian. Untuk itu, perlu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
a. Persoalan apa yang menjadi pusat perhatian peneliti sehingga harus melakukan penelitian dengan penelitian eksperimen?
b. Bagaimana mempersiapkan kelompok eksperimen dan kontrol?
c. Karakteristik metode pembelajaran yang akan dibandingkan?
d. Variabel tergantung (dependent) apa yang menjadi pusat perhatian peneliti dan apa instrumen pengukurnya?
e. Apa teori dasar yang harus dipersiapkan?
f. Berapa lama eksperimen akan dilakukan?
g. Metode analisis apa yang tepat digunakan?
h. Bagaimana mengurangi kesesatan pada kedua kelompok?
Pertanyaan di atas memberi gambaran bahwa suatu desain untuk mengerjakan suatu eksperimen perlu dipikirkan selengkap dan serinci mungkin.agar dapat dipakai pegangan dalam pelaksanaannya.
Dalam penelitian eksperimen kita tidak terkonsentrasi pada satu jenis desain/pola eksperimen saja, ada tiga desain yang disajikan, guru dapat memilih alternatif mana yang paling tepat untuk mencoba suatu tindakan tertentu bilamana kondisi siawa/kelas/sekolah mengalami masalah. Setiap pola/desain eksperimen mempunyai kelemahan dan kebaikannya, namun peneliti harus mampu memilih desain eksperimen yang dapat dilaksanakan dan paling minim mengandung resiko kelemahan.
Sebenarnya lebih dari 8 (delapan)desain eksperimen yang dapat kita pelajari,namun berikut ini hanya disampaikan beberapa desain eksperimen yang sering digunakan guru dalam memperbaiki hasil belajar siswa, yaitu:
1) Treatments by Levels Designs,
2) Treatment by Groups Designs, dan
3) Matched Subjects Designs
Untuk mendapatkan gambaran yang agak jelas berikut ini diuraikan secara
singkat ketiga desain eksperimen tersebut.
1. Treatment by Levels Designs.
Desain ini memberikan dasar-dasar pengamatan stratifikasi yang lebih baik. Kita sadari bahwa pada setiap kelompok/kelas selalu dijumpai adanya siswa yang masuk kelompok tinggi dan rendah, ada anak-anak yang pandai dan kurang pandai, maka melalui desain ini stratifikasi itu perlu mendapat perhatian dalam menentukan kelompok kontrol dan eksperimen. Kondisi semacam ini dalam pelaksanaan suatu eksperimen perlu diperhatikan agar tidak banyak mengganggu hasil akhir eksperimen.
Untuk itu, dalam persiapan eksperimen, peneliti harus menentukan dua kelompok yang di dalamnya terdistribusi siswa yang berkemampuan yang seimbang. Walupun demikian bukan berarti bahwa desain ini sudah terbebas dari kesesatan, masih juga dapat terjadi bilamana tidak memperhatikan pelaksana/guru pelaku tindakan baik di kelompok
eksperimen atau di kelompok kontrol. Pengulangan juga terjadi kalau tidak diperhatikan kemungkinan pengulangan metode pada kedua kelompok itu. Disamping itu, juga perlu diperhatikan variabel lain yang dapat berpengaruh terhadap hasil eksperimen, maka persiapan perlu dilakukan sebaik-baiknya.
1. Matched Group Designs
Desain eksperimen ini merupakan desain yang paling banyak digunakan para guru dalam menguji keampuhan suatu metode pembelajaran dibandingkan metode lain. Data untuk persiapan dengan desain eksperimen ini dapat diperoleh dari dokumen atau memberikan pretest kepada siswa yang akan dijadikan subyek penelitian. Persoalan pokok yang perlu dipikirkan lebih awal pada grup matching adalah faktor-faktor yang harus diseimbangkan agar grup-grup yang mengikuti eksperimen dapat berjalan pada kondisi eksperimental tanpa dipengaruhi faktor ekstrane. Prinsipnya semua faktor yang dipandang dapat memengaruhi/mengotori pengaruh tindakan/treatment harus dimatched/
jodohkan sebelum tindakan atau eksperimen dilakukan. Misalnya prestasi belajar, dan inteligensi dipandang akan berpengaruh pada hasil eksperimen, maka kedua faktor itu harus di-matched. Cara melakukan matching dapat melakukan dengan menguji perbedaan
grup-grup yang dicoba akan menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan analisis t-test. Bilamana ada perbedaan antara kedua kelompok itu eksperimen tidak dapat diteruskan, berarti kedua kelompok itu harus menujukkan adanya kesamaan.
2. Matched Subjects Designs
Desain ini berlandaskan pada adanya matched subjects pada dua kelompok yang dipersiapkan untuk eksperimen. Pada matched groups, yang dipakai dasar adalah menjodohkan kedua kelompok itu dengan perhitungan seluruh subyek yang ada pada tiap kelompok, sedang matched subjects yang dijodohkan tiap-tiap subyek pada kelompok
yang satu dengan subyek pada kelompok yang lain. Pada matched subjects dapat dijodohkan dengan system: a) nominal pairing, b) ordinal piring, atau c) combined pairing. Nominal pairing yang dipasang-pasangkan umpama jenis kelamin, jenis pekerjaan orang tua, sedang orninal pairing yang dipasang-pasangkan adalah intelegensi, prestasi belajar, atau tingkat pendidikan, Pada pelaksanaannya sangat tergantung pada pelaku eksperimen, sistem apa yang akan dipakai.
Desain ini mempunyai kepekaan (sensitivitas) yang lebih tinggi dibandingkan dengan desain lainnya dalam mendeteksi perbedaan pengaruh tindakan/treatment, apalagi kalau mampu memperhatikan faktorfaktor lain yang dapat mencemari hasil eksperimen.
G. LAPORAN PENELITIAN
Kegiatan paling akhir dan sering tertunda-tunda serta menjemukan adalah menyusun laporan hasil penelitian. Agar tidak tertunda dan tetap segar untuk menyusun laporan dapat dimulai sejak peneliti melaksanakan kegiatan eksperimennya. Apa yang harus ditulis awal, penelitiannya saja baru mulai? Kalau kita memperhatikan materi yang akan ditulis pada laporan hasil penelitian itu, harus ingat pada rancangan/proposal penelitian yang sudah disusun awal. Rancangan penelitian yang sudah lengkap dan terstruktur secara sistematis, akan memberikan bahan dasar laporan yang sangat berharga dan mengurangi beban waktu penyusunan laporan. Tiga bab dari lima bab pada
laporan sudah ada di rancangan/proposal penelitian, walaupun masih perlu dipertajam, disempurnakan dan dilengkapi sesuai dengan apa yang akan dilaksaknakan peneliti. Maka sambil melaksanakan eksperimen guru/peneliti dapat mengawali menyusun laporan pada bab pendahuluan, kajian teori dan pustaka, serta bab metode penelitiannya.
Bab atau bagian baru dan lebih membutuhkan pemikiran dan belum ada di proposal adalah bab IV yang menyajikan hasil penelitian dan pembahasan.Bab ini baru dapat ditulis kalau kegiatan pengumpulan data, kegiatan eksperimennya sudah selesai. Semua data dari proses sampai hasil akhir eksperimen harus disajikan pada bagian ini. Cara menyajikan dapat dalam bentuk tabel, grafik, skema atau bagan, dan bertujuan untuk mempermudah pembaca memahmi makna yang disampaikan peneliti. Hasil analisis data
didasarkan pada hasil yang diperoleh dari tes materi pelajaran serta angket pada ahkir pelajaran/eksperimen. Untuk menyusun laporan penelitian, guru diharapkan memahami sistematika penulisan yang sudah ditetapkan, seperti yang terlampir pada bagian akhir dari hand-out ini. Pada prinsipnya sistematika pembhasan mengandung tiga
bagian pokok yaitu, bagian awal, bagian inti dan bagian pendukung. Agar karya ilmiah jenis penelitian ini memenuhi syarat untuk dinilai angka kreditnya, diwajibkan ada pengesahan dari kepala sekolah dan perpustakaan sekolah dari guru pengusul.
H. PENUTUP
Penelitian eksperimen merupakan jenis penelitian yang dapat dilaksanakan oleh guru disamping penelitian tindakan kelas. Kalau dilakukan dengan hatihati dan cermat besar kemungkinan akan mendapatkan kepuasan tersendiri, baik dalam bidang akademik maupun ilmu pengetahuan yang diperoleh. Guru sering sekali memperoleh ilmu baru, mendapat metode baru yang dapat dicobakan untuk mendapatkan gambaran secara jelas perbedaan yang diakibatkan, terlebih kalau mampu mengendalikan variabel pengganggu
pelaksanaan eksperimen. Untuk itu mempelajari berbagai jenis penelitian sangat penting dalam mengantarkan guru dalam meningkatkan/ mengembangkan profesinya secara nyata dalam menghayati berbagai masalah yang dihadapi kesehariannya di kelas. Dengan penguasaan penelitian eksperimen akan dapat melengkapi tugas guru dalam upaya mengantarkan para siswanya untuk mendapatkan prestasi yang lebih baik. Selamat mencoba untuk melakukan penelitian eksperimen yang sesuai dengan disiplin ilmu
yang sedang ditekuni dan kembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Linquit EP, 1986, Design and Analysis of Experiments in Psychologi and Educa-
Tion, Boston: Houghton Mifflin Company
Federer, WT, 1974, Experiment Design,: Theory and Applications, Oford & LBH
Publishing Co., New Delhi
Kempthorne, O., 1984, The Design andAnalysis of Experiments, Wiley Eastern
Private Ltd. New Delhi
Montgomery, D C., 1976., Design and Analysis of Experiment, John Wiley & Sons,
New York
Sudjana, 1994, Desain dan Analisis Eksperimen, Penerbit Tarsito Bandung.
Sukardi, 2004, Metodologi Penelitian Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta
Sutrisno Hadi, 2004, Metodologi Research,: untuk menulis laporan, skripsi thesis
dan disertasi, Penerbit Andi Yogyakarta